BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Al-Qur'an
adalah kitab suci ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Secara harfiah Qur'an berarti bacaan. Namun walau
terdengar merujuk ke sebuah buku/kitab, ummat Islam merujuk Al-Qur'an sendiri
lebih pada kata-kata atau kalimat di dalamnya, bukan pada bentuk fisiknya
sebagai hasil cetakan.
Umat
Islam percaya bahwa Al-Qur'an disampaikan kepada Muhammad melalui malaikat
Jibril. Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga
hingga wafatnya beliau 632 M. Walau Al-Qur'an lebih banyak ditransfer melalui
hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut Islam pada masa itu yang
menuliskannya pada tulang, batu-batu dan dedaunan.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an yang ada saat ini persis sama dengan yang disampaikan kepada Muhammad, kemudian disampaikan lagi kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan menulis isi Al Qur'an tersebut. Secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur'an yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an yang ada saat ini persis sama dengan yang disampaikan kepada Muhammad, kemudian disampaikan lagi kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan menulis isi Al Qur'an tersebut. Secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur'an yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman.
Al-Qur'an
memiliki 114 surah , dan sejumlah 6.236 ayat (terdapat perbedaan tergantung
cara menghitung). Hampir semua Muslim menghafal setidaknya beberapa bagian dari
keseluruhan Al-Qur'an, mereka yang menghafal keseluruhan Al-Qur'an dikenal
sebagai hafiz (jamak:huffaz). Pencapaian ini bukanlah sesuatu yang jarang,
dipercayai bahwa saat ini terdapat jutaan penghapal Al-Qur'an diseluruh dunia.
Di Indonesia ada lomba Musabaqah Tilawatil Qur'an yaitu lomba membaca Al-Qur'an
dengan tartil atau baik dan benar. Yang membacakan disebut Qari (pria) atau
Qariah (wanita).
Muslim
juga percaya bahwa Al-Qur'an hanya berbahasa Arab. Hasil terjemahan dari
Al-Qur'an ke berbagai bahasa tidak merupakan Al-Qur'an itu sendiri. Oleh karena
itu terjemahan hanya memiliki kedudukan sebagai komentar terhadap Al-Qur'an
ataupun hasil usaha mencari makna Al-Qur'an, tetapi bukan Al-Qur'an itu
sendiri.
Hadits
(bahasa Arab: الحديث, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari
Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan
kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an. Hadits secara harfiah
berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits
berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi
Muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga
disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata
tersebut adalah kata benda.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Sumber dan Dalil
A. Pengertian Dalil
Dalam
kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan
“sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara
itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan
dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang
dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun
secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil
hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan
pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik
secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Dari
pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya
yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan
alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan meneapkan
hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
B. Pengertian Sumber
Terhadap
dalil hukum, ada sebutan lain di kalangan ulama ushul seperti istilah masadir
al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber
hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau
rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang
diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan
adillat al syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan
petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukjum syara.
Dalam
konteks ini Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus
menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al ijma, al qiyas
dan lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai
dalil karena ia tidak dapat berdiri sendiri.
Akan
tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat
dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum
tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum
adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang yang
dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan
alasan atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam prakteknya mencakup Al-Qur’an,
As-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya.
Oleh
karena itu, dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian
utama atau dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka
berhadapan dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan
demikian setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa
didasari oleh pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut.
Keberadaan dalil sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
Keberadaan dalil sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1.
Al Adillah Al Ahkam Al
Manshushah atau dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat
dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah atau disebut pula dengan dalil naqli.
2.
Al Adillah Al Ahkam
ghoirul Manshushah atau dalil-dalil hukum yang scara tekstual tidak disebutkan
oleh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad
dengan menggunakan penalaran ra’yu dan disebut pula dengan dalil aqli.
Adapun
dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori terakhir ini meliputi Ijma,
Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul
Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan
dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mazhab
ushul. Perbedaan ini muncul karena ketika ulama ushul tidak menemukan dalil
atau alasan yang mendasari suatu hukum dari Nash, maka mereka menggunakan ra’yu
mereka masing-masing dengan rumusan tersendiri. Hal ini diyakini termotivasi
oleh hadits yang berisi dialog antara Nabi saw dengan Mu’az Bin Jabal ketika
akan dikirim ke Yaman
Nabi bertanya kepada Mu’az Bin Jabal, “Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara jika diajukan orang kepada engkau?”Mu’az menjawab, “saya akan putuskan dengan Kitab Allah”. Nabi bertanya kembali, ”jika tidak engkau dalam Kitab Allah?”. “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah”, jawab Mu’az. Dan Rasulullah bertanya kembali,”Jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?”. Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Kemudian Rasulullah membenarkannya.
Nabi bertanya kepada Mu’az Bin Jabal, “Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara jika diajukan orang kepada engkau?”Mu’az menjawab, “saya akan putuskan dengan Kitab Allah”. Nabi bertanya kembali, ”jika tidak engkau dalam Kitab Allah?”. “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah”, jawab Mu’az. Dan Rasulullah bertanya kembali,”Jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?”. Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Kemudian Rasulullah membenarkannya.
Atas
dasar ini para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun dan berpijak pada
sistematika istinbat yang mereka susun masing-masing secara berurutan dengan
menempatkan dalil-dalil ra’yu setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.2. Sumber Hukum- Hukum Islam
2.2.1. Al-Qur’an
A. Pengertian
Al-Qur’an
Sebagaimana
telah disinggung sebelum ini tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka
Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam.
Secara
Bahasa (Etimologi)
Merupakan
mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا)
[keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).
Secara
Syari’at (Terminologi)
Adalah
Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya,
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Naas.
تَنْزِيلا الْقُرْآنَ عَلَيْكَ
نَزَّلْنَا نَحْنُ إِنَّا
Allah
ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai
Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (Al-Insaan:23)
تَعْقِلُونَ
لَعَلَّكُمْ عَرَبِيًّا قُرْآنًا أَنْزَلْنَاهُ إِنَّا
Dan
firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga Al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
Allah ta’ala telah menjaga Al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
لَحَافِظُونَ لَهُ وَإِنَّا
الذِّكْرَ نَزَّلْنَا نُ نَحْ إِنَّا
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar
memeliharanya.” (Al-Hijr:9)
Al-Qur’an
disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan
pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan
atas kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu
benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di
dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia
sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu
benar-benar datang dari Allah.
Dalam
surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya telah kami turunkan kepada
engkau (Muhammad) kitab Al-Qur’an dengan membawa kebenaran”. Surah An Nahl ayat
89, “Dan telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Qur’an untuk
menjelaskan segala sesuatu dan ia merupakan petunjuk, rahmat serta pembawa
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dan masih banyak lagi
ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang
dari Allah.
Ditinjau
dari sudut tempatnya, Al-Qur’an turun di dua tempat yaitu:
1.
Di Mekkah atau yang
disebut Ayat Makkiyah. Pada umumnya berisikan soal-soal kepercayaan atau
ketuhanan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, ayat-ayatnya pendek dan
ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar 2/3 seluruh ayat-ayat
Al-Qur’an.
2.
Di Madinah atau yang
disebut Ayat Madaniyah. Ayat-ayatnya panjang, berisikan peraturan yang mengatur
hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan, anjuran, hukum-hukum dan
syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai keluarga, masyarakat, pemerintahan,
perdagangan, hubungan manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan
sebagainya.
B. Mu’jizat Al-Qur’an
Al-Qur’an
memiliki mu’jizat-mu’jizat yang membuktikan bahwa ia benar-benar datang dari
Allah SWT. Menurut Mana’ Qattan di dalam buku Mabahits Fi Ulumil Qur’an
menyebutkan bahwa Al-Qur’an memilki mujizat pada 4 bidang yaitu:
1.
Pada lafadz dan susunan
kata. Pada zaman Rasulullah Syair sangat trend pada saat itu maka Al-Qur’an
turun dengan kata-kata dan susunan kalimat yang maha puitis, sehingga Al-Qur’an
memastikan bahwa tak ada seorangpun yang dapat membuat satu surah sekalipun
semisal Al-Qur’an. Seperti yang termaktub dalam surah Al Isra ayat 88, Hud ayat
13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23.
2.
Pada keterangannya,
selain pada kata-katanya Al-Qur’an juga memiliki mu’jizat pada artinya yang
membuka segala hijab tentang hakikat manusiawi.
3.
Pada ilmu pengetahuan.
Di dalam terdapat sangat banyak pengetahuan baik hal yang zahir maupun yang
gaib, baik masa sekarang maupun yang akan datang.
4.
Pada penetapan hukum.
Peraturan yang ada di dalam Al-Qur’an bebas dari kesalahan karena ia berasal
dari Tuhan Yang Maha Tahu atas segala ciptaanNya.
C. Fungsi dan Tujuan Al-Qur’an
Al-Qur’an
pertama kali turun di Gua Hira surah Al Alaq ayat 1-5 dan terakhir kali turun
surah al Maidah ayat 3. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 144 surah, 6.326 ayat,
324.345 huruf . Al-Qur’an berfungsi sebagai:
1.
Sumber pokok dan utama
dari segala sumber-sumber hukum yang ada. Hal ini dilandasi oleh ayat Al-Qur’an
di dalam surah An Nisa ayat 5.
2.
Penuntun manusia dalam
merumuskan semua hukum, agar tercipta kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman
dan berwawasan Al-Qur’an.
3.
Petunjuk yang
diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dengan penuh rahmat kepada kebahagiaan
umat manusia baik didunia maupun diakhirat dan sebagai ilmu pengetahuan.
D. Pokok
Ajaran Dalam Isi Kandungan Al-Qur’an
1. Akidah
Akidah
adalah keyakinan atau kepercayaan. Akidah islam adalah keyakinan atau
kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap
muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk
diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang
diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan
dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.
2.Ibadah dan Muamalah
Kandungan
penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-Qur’an tujuan
diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti
yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)
Manusia
selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan
berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau
hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia
dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi
dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan
Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82.
3. Hukum
Secara
garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum
perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum
perang,hukum antar bangsa.
4. Akhlak
Dalam
bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping
memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer
kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil
menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu
dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4.
5. Kisah-kisah umat terdahulu
Kisah
merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menaruh perhatian penting
terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat
yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an
memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam
Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.
6. Isyarat pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
Al-Qur’an
banyak menghimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9.Selain kedua
surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi
kemjuan dan kesejahteraan umat manusia.
Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :
Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :
1.
Memberi pedoman dan
petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu.
2.
Memiliki ayat-ayat yang
mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya.
3.
Memberi gambaran umum
ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.
4.
Memiliki ayat-ayat yang
menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia
manusia.
5.
Menyamakan manusia
tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan
perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.
6.
Melepas kehinaan pada
jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan
tauhid dalam jiwa.
E. Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an
dari segi penjelasannya ada 2 macam, yang pertama muhkam yaitu ayat-ayat yang
teran artinya, jelas maksudnya dan tidak mengandung keraguan atau pemahaman
lain selain pemahaman yang terdapat pada lafaznya. Yang kedua mutasyabih yaitu
ayat yang tidak jelas artinya sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai
penafsiran dan pemahaman yang disebabkan oleh adanya kata yang memiliki dua
arti/maksud, atau karena penggunaan nama-nama dan kiasan-kiasan.
Ibarat
Al-Qur’an dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan
larangan ada beberapa model.
1.
Suruhan, yang berarti
keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Keharusan seperti perintah
shalat, Allah berfirman yang artinya,”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat”. Larangan contohnya firman Allah dalam surah Al An’am ayat 151 yang
artinya,”Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah membunuhnya
kecuali dengan hak”.
2.
Janji baik dan buruk,
pahala dan dosa serta pujian dan celaan.
3.
Ibarat, contohnya
seprti istri yang ditalak harus menjalankan masa iddah.
2.2.2. As-Sunnah(Al-Hadits)
Hadits
merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya:
“ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya:
“Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasulnya”. (HR.
Imam Malik)
Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
Memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an
dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT
didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat
diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1.
Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih
bersifat umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci
batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian
semua itu telah dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain,
dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman
Allah sebagai berikut:
Artinya:
“Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah:3)
Dalam
ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana
yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai
yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan
limpa…” (HR Ibnu Majjah)
2.
Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh
kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak
tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud,
dan Baihaqi)
Hadits
menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1.
Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits
yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohehan suatu hadits
2.
Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan
Hadits Hasan
3.
Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat
illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak
terlalu penting
4.
Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
BAB
III
KESIMPULAN
Dalil
secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang
dikehendaki”. Secara terminologis dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat
dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan
meneapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Akan
tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat
dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum
tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut denagan dalil hukum
adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain
Al-Qur’an dan As-Sunnah
Al-Qur’an
merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Al-Qur’an yang berasal dari
kata qara’a yang dapat diartikan dengan membaca, namun yang dimaksud dengan
Al-Qur’an dalam uraian ini ialah,”kalamullah yang diturunkan berperantakan
ruhul amin kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab, agar menjadi hujjah bagi
Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan agar menjadi pelajaran bagi orang yang
mengikuti petunjuknya. Menjadi ibadah bagi siapa yang membacanya, ia ditulis di
atas lembaran mushaf, dimulai dengan surah Al Fatihah dan di akhiri dengan
surah An Naas. Yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui
tulisan atau bacaan dari satu generai ke generasi berikutnya. Dan terpelihara
dari perubahan dan pergantian.
Hadits
merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu
Usul Fiqih. Pustaka Amani,
Jakarta 2003.
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih.
Bandung: Pustaka Setia 2007.
Drs. H. A. Syafi’i Karim. Fiqih
Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan Pertama
Drs. Chaerul Uman Dkk. Ushul Fiqih 1. Pustaka Setia, Bandung
1998.
Drs.
Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI,
Yogyakarta
Drs. Chaerul Uman Dkk. Ushul Fiqih 1. Pustaka Setia, Bandung
1998.
KATA
PENGANTAR
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan
keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga hari
pembalasan kelak. Dan tak lupa kami bersyukur atas tersusunnya Makalah kami
yang berjudul Sumber Hukum-Hukum Islam( Al-Qur’an dan Al-Hadits ).
Tujuan
kami menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan
kita semua, dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih.
Dengan
terselesaikannya makalah ini, maka tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
kepada pihak- pihak yang berperan dalam membantu penyusunan makalah ini hingga
selesai seperti saat ini.
Akhir
kata kami mengharapkan adanya kritik dan saran atas kekurangan kami dalam
penyusunan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna
khususnya bagi kami dan juga semua pihak.
Indramayu, Maret 2012
Penyusun
|
Kelompok 3
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR……………….……………………………………………
i
DAFTAR ISI……………………………………………...………………………
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………………………………….…………..........................
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian sumber dan Dalil……………....…………………………………
2
2.2. Sumber Hukum- HukumIslam……………………………………………….
4
A. Pengertian
Dalil………………………………………………………… 3
A. Al-Qur’an…………………………….………………………………………..
4
B. As-Sunnah( Al-Hadits )………………………..………………………………
8
C. Ijtihad…………………………………………………………………………
10
D. Pembagian Hukum dalam
Islam……………….……………………………. 12
BAB III KESIMPULAN……..…………………………...……………………..
15
DAFTAR PUSTAKA……………………………….…………………………..
16
|
No comments:
Post a Comment