BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Di era globalisasi yang semakin modern baik secara ilmu
pengetahuan ataupun teknologi maka banyak sekali perkembangan yang sangat
signifikan dari segala bidang jurusan yang berkembang di dunia khususnya bidang
kesehatan.
Dengan kemajuan yang sangat signifikan ini bidang
kesehatan semakin mengarah focus kepada kesehatan dan kepuasan pasiennya namun
karena bidang kesehatan ini di akomodir oleh orang-orang non islam maka semakin
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan melalaikan
batasan-batasan norma yang berlaku bahkan kadang melupakan kodratnya sebagai
manusia seperti operasi plastik, ganti kelamin, dan euthanasia.
Hanya untuk mengedepankan
kepentingan pasiennya dan berusaha untuk memuaskan pasien maka dokter melakukan
hal tersebut tanpa memikirkan norma dan kodrat yang diberikan Allah kepadanya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Masail Fiqih juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.
Apakah devinisi operasi plastik
?
2. Bagaimana cara dokter melakukan operasi
plastik ?
3. Apa alasan orang ingin melakukan operasi
plastik ?
4. Apa hukum operasi plastik dalam islam ?
5.
Apakah devinisi ganti kelamin ?
6. Bagaimana cara dokter melakukan ganti
kelamin ?
7. Apa alasan orang ingin mengganti
kelaminnya ?
8. Bagaimana pandangan ganti kelamin menurut
pandangan islam ?
9. Apakah pengertian eutanasia ?
10. Bagaimana cara dokter melakukan eutanasia
?
11. Bagaimana eutanasia dalam hukum islam ?
1.3. Metode Penyusunan
Metode penyusunan makalah ini
tidak lain menggunakan metode eksposisi yakni dengan melakukan tinjauan
pustaka, mengunduh file-file yang relevan, mengunjungi situs-situs internet
yang relevan,dengan membaca, merangkum, menelaah, dan mengkaji buku-buku yang
memuat materi yang berkaitan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Operasi Plastik
2.1.1. Pengertian
Operasi plastik atau dikenal dengan “Plastic
Surgery” (ing) atau dalam bahasa arab “Jirahah Tajmil” adalah bedah/operasi
yang dilakukan untuk mempercantik atau memperbaiki satu bagian didalam anggota
badan, baik yang nampak atau tidak, dengan cara ditambah, dikurangi atau
dibuang, bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan estetika (seni) tubuh dan
sebagian Ulama hadits yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan operasi
plastik itu hanya ada dua:
1.
Untuk mengobati aib yang ada
dibadan, atau dikarenakan kejadian yang menimpanya seperti kecelakaan,
kebakaran atau yang lainya. Maka operasi ini dimaksudkan untuk pengobatan
2.
Atau untuk mempercantik diri,
dengan mencari bagian badan yang dianggap mengganggu atau tidak nyaman untuk
dilihat orang, istilah yang kedua ini adalah untuk kecantikan dan keindahan.
2.1.2. Jenis-jenis operasi plastik
Seperti yang telah kita ketahui bahwa
operasi yang dilakukan itu bisa sebelum meninggal atau sesudahnya, akan tetapi
untuk pembagian yang kedua ini tidak ada hubungannya dengan operasi plastik.
Oleh karena itu dalam makalah yang singkat
ini, kita tidak membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan mayat.
Operasi plastik ada dua :
1.
Operasi tanpa ada unsur
kesengajaan
2.
Operasi yang disengaja
2.1.2.1. Operasi tanpa ada unsur
kesengajaan
Maksudnya adalah operasi yang dilakukan
hanya untuk pengobatan dari aib (cacat) yang ada dibadan, baik karena cacat
dari lahir (bawaan) seperti bibir sumbing, jari tangan atau kaki yang berlebih,
dan yang kedua bisa disebabkan oleh penyakit yang akhirnya merubah sebagian
anggota badan, seperti akibat dari penyakit lepra/kusta, TBC, atau karena luka
bakar pada wajah akibat siraman air panas.
Kesemua unsur ini adalah opersi yang bukan
karena keinginannya, akan tetapi yang dimaksudkan adalah untuk pengobatan saja,
walaupun hasilnya nanti menjadi lebih indah dari sebelumnya, dalam hukum fiqih
disebutkan bahwa, operasi semacam ini dibolehkan saja, adapun dalil diantaranya
sebagai berikut:
2.1.2.1.1.
Dalil Operasi Tanpa Unsur Kesengajaan
4 Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi Saw. berliau pernah
bersabda, “Tidak lah Allah Swt. menurunkan wabah/penyakit kecuali Allah Swt.
juga menurunkan obat penwarnya”(H.R. Bukhari)
4 Riwayat dari Usamah ibn Syuraik R.a, berkata, “Ada beberapa orang Arab bertanya kepada
Rasulullah Saw.:”Wahai Rasulullah, apakah kami harus mengobati (penyakit kami),
Rasulullah menjawab, “Obatilah. Wahai hamba-hamba Allah lekaslah kalian
berobat, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit, diriwayat
lain disebutkan, beberapa penyakit. Kecuali diturunkan pula obat penawarnya
Kecuali satu yang tidak bisa diobati lagi”, mereka pun bertanya,”Apakah itu
wahai Rasul?”, Rasulullah pun menjawab, “Penyakit Tua”(H.R At-Turmudzi). Maksud
dari hadits diatas adalah, bahwa setiap penyakit itu pasti ada obatnya, maka
dianjurkan kepada orang yang sakit agar mengobati sakitnya, jangan hanya
dibiarkan saja, bahkan hadits itu menekankan agar berobat kepada seorang dokter
yang profesional dibidangnya.
4 Imam Abu hanifah dalam kitabnya berpendapat, “Bahwa tidak mengapa
jika kita berobat menggunakan jarum suntik (yang berhubungan dengan operasi),
dengan alasan untuk berobat, karena berobat itu dibolehkan hukumnya, Sesuai
dengan ijma’ ulama, dan tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan”.Akan
tetapi disebutkan (pendapat lemah) bahwa tidak diperbolehkan berobat
menggunakan bahan yang diharamkan, seperti khamar,bir dan sejenis. tapi jika ia
tidak mengetahui kandungan obat itu, maka tidak mengapa menggunakannya, namun
jika tidak memungkinkan lagi (yakin bahwa tidak ada obat) untuk mencari obat
selain yang diharamkan itu, maka bolehlah menggunakan sekedarnya
4 Ibn Mas’ud Ra, mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak
menciptakan sembuhnya kalian dengan barang yang diharamkan-Nya”.makna dari
pendapat beliau adalah walau bagaimanapun Allah Swt. menurunkan penawar yang
halal, karena secara akal pikir, tidak mungkin Allah mengharamkan yang telah
diharamkan kemudian diciptakan untuk dijadikan obat, pasti masih ada jalan lain
yang lebih halal.
Operasi semacam ini terkadang bisa menjadi
wajib hukumnya, jika menyebabkan kematian, maka wajib baginya untuk berobat.
Allah Swt. berfirman :
Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Baqarah : 195)
Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Baqarah : 195)
Di ayat lain disebutkan,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S.An-Nisa
: 29)
Larangan membunuh diri sendiri ini
menunjukkan bahwa Allah Swt melarang hamba-Nya merusak jiwanya
Operasi ini tidak bisa dikatakan mengubah
ciptaan Allah dengan sengaja, karena operasi ini untuk pengobatan, walaupun
pada akhirnya bertambah cantik atau indah pada dirinya.
Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradawi berpendapat :
“Adapun kalau ternyata orang tersebut mempunyai cacat yang mungkin menjijikkan
pandangan, misalnya karena ada daging tambah yang boleh menimbulkan sakit jiwa
dan perasaan, maka tidak berdosa bagi orang itu untuk berobat selagi dengan
tujuan menghilangkan kecacatan atau kesakitan yang boleh mengancam hidupnya.
Kerana Allah tidak menjadikan agama buat kita ini dengan penuh kesukaran“
2.1.2.2.
Operasi yang dilakukan dengan sengaja
Maksudnya adalah operasi yang tidak
dikarenakan penyakit bawaan (turunan) atau karena kecelakaan, akan tetapi atas
keinginannya sendiri untuk menambah keindahan dan mempercantik diri.
Operasi ini ada bermacam-macam, akan tetapi
saya hanya menuliskan garis besarnya saja, yaitu terbagi dua, dan setiap bagian
mempunyai hukum masing-masing:
a.
Operasi anggota badan
b.
Operasi mempermuda
2.1.2.2.1.
Operasi anggota badan
Diantaranya adalah operasi telinga, dagu,
hidung, perut, payudara, pinggul dengan ditambah, dikurang atau dibuang, dengan
keinginan agar terlihat cantik.
2.1.2.2.2.
Operasi Mempermuda
Adapun operasi bagian kedua ini
diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumur tua, dengan menarik kerutan diwajah,
lengan, pantat, tangan, atau alis.
mungkin ini menurut penulis bagian-bagian yang sering kita temui dan
yang paling umum; para ulama berbeda pendapat mengenai hukum operasi plastik
ini :
Kebanyakan ulama hadits berpendapat bahwa
tidak boleh melakukan operasi ini dengan dalil diantaranya sebagai berikut:
Artinya : Yang dila'nati Allah dan syaitan itu mengatakan: "Saya
benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah
ditentukan (untuk saya).
Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong
telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan
Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya. barangsiapa yang menjadikan syaitan
menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang
nyata. (Q.S. Annisa : 118-119)
Ayat ini menjelaskan kepada kita dengan
konteks celaan dan haramnya melakukan pengubahan pada diri yang telah
diciptakan Allah dengan sebaik-baik penciptaan, karena mengikuti akan hawa
nafsu dan keinginan syaitan yang dilaknat Allah.
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim
Ra. dari Abdullah ibn Mas’ud Ra.beliau pernah berkata “”Allah melaknat
wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk ditatokan, yang mencukur
(menipiskan) alis dan yang meminta dicukur, yang mengikir gigi supaya kelihatan
cantik dan merubah ciptaan Allah.” (H.R Bukhari) dari hadits ini, dapat diambil
sebuah dalil bahwa Allah Swt. melaknat mereka yang melakukan perkara ini dan
mengubah ciptaan-Nya
Riwayat dari Ashabis Sunan Dari Asmaa, bahwa
ada seorang perempuan yang mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, ” Wahai
Rasululllah, dua orang anak perempuan ku akan menjadi pengantin, akan tetapi ia
mengadu kepadaku bahwa rambutnya rontok, apakah berdosa jika aku sambung
rambutnya?”, maka Rasulullah pun menjawab, “Sesungguhnya Allah melaknat
perempuan yang menyambung atau minta disambungkan (rambutnya)”
Hadits ini dengan jelas mengatakan bahwa
haram hukumnya bagi orang yang menyambung rambutnya atau istilah sekrang
dikenal dengan konde atau wig dan jauh dari rahmat Allah Swt.
Untuk melengkapi pendapat ini,maka akan saya
coba menggunakan qias dan akal. Operasi plastik semacam ini tidak dibolehkan
dengan meng-qias larangan Nabi Saw. terhadap orang yang menyambung rambutnya,
tattoo, mengikir (menjarangkan) gigi atau apa saja yang berhubungan dengan
perubahan terhadap apa yang telah diciptakan Allah Swt.
Secara akal kita akan menyangka bahwa orang
itu kelihatannya indah dan cantik akan tetapi, ia telah melakukan operasi
plastik pada dirinya, perbuatan ini sama dengan pemalsuan atau penipuan
terhadap dirinya sendiri bahkan orang lain, adapun hukumnya orang yang menipu
adalah haram menurut syara’.
Begitu juga dengan bahaya yang akan terjadi
jika operasi itu gagal, bisa menambah kerusakan didalam tubuhnya dan sedikit
sekali berhasilnya, apapun caranya tetap membahayakan dirinya dan ini tidak
sesuai dengan hukum syara’, sesuai dengan firman Allah yang berbunyi (wallahu
‘alam)”Jangan bawa diri kalian dalam kerusakan”
Setelah kita perhatikan dalil-dalil diatas
dengan seksama, maka jelaslah bahwa operasi plastik itu diharamkan menurut
syara’ dengan keinginan untuk mempercantik dan memperindah diri, dengan
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Operasi plastik merubah ciptaan
Allah Swt
2.
Adanya unsur pemalsuan dan
penipuan
3.
Dari sisi lain, bahwa
negatifnya lebih banyak dari manfaatnya, karena bahaya yang akan terjadi sangat
besar apabila operasi itu gagal, bisa menyebabkan kerusakan anggota badan
bahkan kematian.
4.
Syarat pembedahan yang
dibenarkan Islam; memiliki keperluan untuk tujuan kesehatan semata-mata dan
tiada niat lain, diakui doktor profesional yang ahli dalam bidang itu bahwa
pembedahan akan berhasil dilakukan tanpa risiko, bahaya dan mudarat.
Untuk pemakaian kosmetik, disyaratkan kandungannya halal, tidak dari najis (kolagen / plasenta) dan tidak berlebihan (tabarruj) akan tetapi behias ini sangat di tekankan bagi mereka yang ingin menyenangkan suaminya.
Untuk pemakaian kosmetik, disyaratkan kandungannya halal, tidak dari najis (kolagen / plasenta) dan tidak berlebihan (tabarruj) akan tetapi behias ini sangat di tekankan bagi mereka yang ingin menyenangkan suaminya.
5.
Sebelum menutup makalah ini,
saya ingin menekankan bahwa Allah Swt. Tidak lah menciptakan makhluknya dengan
sia-sia, “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki,
Dia menyusun tubuhmu.”
6.
Sesungguhnya Allah Swt.
Menciptakan kalian dalam keadaan sempurna dan seimbang satu sama lainnya dengan
sebaik-baik penciptaan. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya .”
7.
Sudah sepantasnya kita sebagai
makhluk Allah mensyukuri apa-apa yang telah diberikan kepada kita.
2.2. Ganti Kelamin
2.2.1.
Pengertian
Operasi ganti kelamin (taghyir al-jins) adalah operasi
pembedahan untuk mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau
sebaliknya. Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan
dengan memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina)
dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi
laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran kelamin
perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi ini juga
disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal. (M. Mukhtar
Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyah, hal. 199).
2.2.2.
Hukum dan Dalil
Hukum operasi ganti kelamin adalah haram, berdasarkan dalil
Al-Qur`an dan As-Sunnah. (M. Mukhtar Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah
Al-Thibbiyah, hal. 199; Fahad Abdullah Hazmi, Al-Wajiz fi Ahkam
Al-Jirahah Al-Thibbiyyah, hal. 12; Walid bin Rasyid Sa’idan, Al-Ifadah
al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masail al-Thibbiyyah, hal. 128).
Dalil Al-Qur`an firman Allah SWT (artinya) : "Dan aku
(syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka
benar-benar mengubahnya". (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini
menunjukkan upaya syaitan mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan
maksiat. Di antaranya mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah).
Operasi ganti kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah, karena dalam operasi ini
terdapat tindakan memotong penis, testis, dan payudara. Maka operasi ganti
kelamin hukumnya haram.
Dalil hadis adalah riwayat Ibnu Abbas RA bahwa,"Rasulullah
SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang
menyerupai laki-laki." (HR Bukhari). Hadis ini mengharamkan perbuatan
laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka,
operasi ganti kelamin haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah)
bagi laki-laki atau perempuan yang dioperasi untuk menyerupai lawan jenisnya.
Kaidah fiqih menyebutkan,"Al-Wasilah ila al-haram muharromah."
(Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga). (Fahad Abdullah Al
Hazmi, Taqrib Fiqih Al-Thabib, hal. 74; M. Utsman Syabir, Ahkam
Jirahah At-Tajmil, hal. 19).
Operasi ganti kelamin juga merupakan dosa besar (kaba`ir),
sebab salah satu kriteria dosa besar adalah adanya laknat (kutukan) dari Allah
dan Rasul-Nya. (Imam Dzahabi, Al-Kaba`ir, hal. 5; Imam Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubi, Juz V/120; Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Juz
11/650).
Yang berdosa bukan hanya orang yang dioperasi, tapi juga semua pihak
yang terlibat di dalam operasi itu, baik langsung atau tidak, seperti dokter,
para medis, psikiater, atau ahli hukum yang mengesahkan operasi tersebut.
Semuanya turut berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada
Hari Kiamat kelak, karena mereka telah bertolong menolong dalam berbuat dosa.
Padahal Allah SWT berfirman:
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maa`idah: 2).
Adapun operasi penyempurnaan kelamin (takmil al-jins)
hukumnya boleh. Hal ini berlaku bagi orang yang memiliki alat kelamin ganda,
yaitu mempunyai penis dan vagina sekaligus. Operasi ini hukumnya mubah,
berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan berobat (al-tadawiy). Nabi
SAW bersabda,"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah
menurunkan pula obatnya." (HR Bukhari, no.5246).
2.3. Eutanasia
2.3.1.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah
kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang
dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu
euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat
parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker
ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.
Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian
dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus
(Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat
kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan
sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah
tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia
pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah
kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada
otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita.
Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat
mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan
dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia,
karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran
bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain,
dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik
kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
2.3.2. Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap
euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
2.3.2.1. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil
yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh
diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…”
(QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan
suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman
mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah
:
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai
dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/ menyedekahkan.
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor
di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter
memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak
dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif,
pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah
kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR
Bukhari dan Muslim).
2.3.2.2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam
praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan
dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu
wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah),
tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub.
Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi
SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah
(indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan
yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit,
Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna
adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini
sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li
ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya
tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan
tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa
seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini
digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka
hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah,
termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang
alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag
telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi
pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak
akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun
akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat
bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang
hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan
pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin
dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk
mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,
maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,
1992 : 522-523).
BAB III
KESIMPULAN
Operasi plastik yang membuat
anggota tubuh semakin sempurna dan terlihat jauh lebih indah sehingga pasien
memiliki rasa percaya yang tinggi padahal semua pemberian tuhan haris lah
disyukuri dan merawatnya bukan untuk dirubah dengan signifikan ataupun lainnya
hanya karena kepentingan penampilan, kemudian selanjutnya operasi ganti kelamin
mereka lupa bahwa kodrat yang diberikan oleh tuhan adalah mutlak jikalau
naluriny tidak berpihak kepada kelaminnya namun tetap manusia tersebut harus
berusaha menerima apa yang diberikan oleh Allah dengan belajar merubah
nalurinya menjdai normal kembali seperti kodratnya.
Euthanasia yakni membunuh
orang yang divonis tidak dapat disembuhkan lagi maka agar pasien tidak
merasakan sakit yang berkepanjangan dokter membunuhnya dengan obat yang
berdosis tinggi, mereka lupa bahwa ajal hanya Allah yang tahu dan samasekali
tidak dapat dibenarkan dengan alas an apapun apabila manusia membunuh manusia
lainnya dan apabila umat isam melakukan pembunuhan baikyang membantu ataupun
yang melakukannya maka tetap hukuman islam harus tetap ditimpakan kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Syauqi Abduh As-Sahi Al Fiqh Islami wal Qhadaya
at-Thibbiyah al-Mu’ashirah halaman 129, cetakan pertama (1411H-1990M) Cetakan
Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah
Dr. Muhammad Mukhtar as-Syaiqity. “Ahkamul Jirahah
at-Thibbiyah wal Atsar al-Mutarattabu ‘alaiha” hal. 193 dan sesudahnya, cetakan
pertama (1411 H- 1990 M) cetakan Maktabah an-Nahdah al-Mishriyah,
Dr. Muhammad Farag ‘Azb “Masuliyyah Tabib fi Jirahah
Tajmil fil Fiqhil Islami wal Qanun al-Wad’i”, Tulisan Doktor di Kuliah Syari’ah
wal Qanun Al Azhar di Mesir (1419 H- 1998 M) hal. 73 dan sesudahnya,
Dr Muhammad Ustman Syabiir, “Ahkam Jirahah Tajmil Fil
Fiqhil Islami” hal. 466 dan sesudahnya, bahas ini pernah diajukan dalam acara
Nadwah Ru’yah Islamiyah liba’dil Mumaarasah at-Thibbiyah di Kuwait pada tanggal 18 April 1987 M
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah
Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX
(Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer
Hukum Islam.Jakarta
: RajaGrafindo Persada.
Hukum Islam.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql
A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut.Beirut :
Darul Ummah.
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut.
Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam
Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
No comments:
Post a Comment