Sunday 22 November 2015

KEBUDAYAAN DAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan dan agama yakni sesuatu hal yang mengatur Norma dan peraturan  yang muncul dalam masyarakat sehingga sebagian orang menganggap bahwa antara kebudayaan dan agama adalah sama. Padahal jelas kebudayaan dengan agama adalah sesuatu yang sama sekali tidak dapat disamakan karena kebudayaan adalah ciptaan manusia sedangkan agama adalah mutlak aturan dan norma yang diberikan oleh Allah Swt.
Kebudayaan juga belum tentu semua kebudayaan itu baik karena telah di paparkan diatas bahwa budaya adalah ciptaan manusia sehingga pasti terdapat celah keburukan dengan keadilan yang pasti tidak dapat dipertanggung jawabkan sehingga menguntungkan salah satu pihak saja. Sedangkan agama pasti didalamnya tidaklah ada aturan yang buruk dan kebijaksanaannyapun jelas karena agama diturunkan oleh Allah yang hak akan dibalas dengan sesuatu yang hak juga dan yang batil akan dibalas dengan sesuatu yang batil juga tanpa ada seorangpun yang bias menyangkal karena jelas bahwasanya Allah maha tau.
1.2. Maksud dan Tujuan
Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi agam juga bertujuan untuk mengetahui beberapa hal berikut :
1.      Apa definisi Kebudayaan ?
2.      Apa definisi agama ?
3.      Bagaimana sejarah kebudayaan ?
4.      Apa perbedaan antara agama dan kebudayaan ?
5.      Bagaimanakah pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan ?
6.      Kemudian bagaimana solusi pemecahannya ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka penulis menyusun makalah ini semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia dan sama artinya dengan tsaqafah dalam bahasa Arab.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.2.   Sejarah Kebudayaan (Asal Usul Kebudayaan)
J. Verkuyl menulis bahwa kata kebudayaan itu mulai dipakai kira-kira pada tahun 1930 dan dengan cepat merebut tempat yang tetap dalam pembendaharaan bahasa Indonesia. Selanjutnya Verkuyl mengatakan bahwa kata kebudayaan itu berasal dari bahasa Sansekerta budaya yakni bentuk jamak dari budi yang berarti roh atau akal perkataan kebudayaan menyatakan : segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia.



2.3.  Ciri-Ciri Kebudayaan
Komponen-komponen atau cirri-ciri kebudayaan itu dapat ditelaah dari sudut wujud maupun isinya. J.J. Honigmann membedakan adanya tiga ciri kebudayaan, yaitu :
1.      Wujud ide (ideas)
2.      Wujud aktivitas (activities)
3.      Benda-benda yang dihasilkan dari aktifitas tersebut (artifacts)
Sedangkan Koentjaraningrat (2000:186) berpendirian bahwa wujud kebudayaan terdiri dari tiga yakni :
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama kebudayaan diatas disebut dengan system budaya (cultural system) yang merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Istilah lain untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini adalah adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya. Wujud kedua kebudayaan disebut dengan sistem sosial (social system). Sedangkan wujud terakhir kebudayaan disebut kebudayaan fisik (material culture).
Secara empirik, ketiga wujud kebudayaan tersebut menjadi satu kesatuan yang integral. Wujud satu mempengaruhi wujud yang lain dalam proses kehidupan masyarakat. Kebudayaan ideal atau (adat istiadat) mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya. Atas dasar gagasan yang diimplementasikan dalam tindakan (aktivitas) maka tercipta kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik akan membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatanya, bahkan juga cara berfikirnya.
2.4.  Perbedaan Antara Agama dan Kebudayaan
2.4.1. Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.1
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya”.
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
2.4.2. Kebudayaan
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup.
2.4.3. Perbedaan dan Contoh
Jelas sekali bahwa agam dan budaya sangatlah berbeda karena budaya adalah hasil pemikiran manusia, ciptaan manusia, serta disain manusia sedangkan agama adalah mutlak ciptaan dan aturan dari Allah Swt.
Contohnya shalat, shalat adalah ritual keagamaan karena shalat mutlak perintah dari Allah sebelum Allah memerintahkan shalat tidak ada satupun orang yang melakukan shalat maka jelas shalat bukanlah hasil pemikiran manusia.
2.5.   Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan
Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kemajuan IPTEK terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia semakin transparan. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomina, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya. Namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbungan jiwa keagamaannya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya.
2.5.1. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Aqidah (Kepercayaan)
Dari pemaparan diatas dengan kemajuan IPTEK yang semakin pesat maka akan mempengaruhi aqidah jiwa keagamaan seseorang, seseorang akan lebih memilih menggunakan akalnya ketimbang kepercayaan yang dianutnya sehingga manusia akan sangat mudah sekali terjebak dalam kesesatan duniawi yang mengabaikan moralitas.
2.5.2. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Ibadah
Sedangkan dalam aspek ibadah manusia semakin tidak memilikiwaktu luang untuk hal ibadah karena manusia semakin disibukkan dengan pengejaran target IPTEK yang dipelajari dan dipergunakannya.
2.5.3. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Muamalah
"Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik" (Idris Ahmad) atau " Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan" (Rasyid Ridho) "(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah). Muamalah ditinjau dari segi objeknya. Meliputi:
Dalam kehidupan sekarang manusia sudah tidak lagi mempraktikkan muamalah yang sesuai dengan hakikatnya karena muamalah sekarang sudah menggunakan bunga, jasa dan lain sebagainya karena lebih mementingkan keuntungan daripada aturan keagamaan dalam bermuamalah.
2.5.4. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Syariah
 
Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam itu sendiri (42 :13). Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari ajaran Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena Islam merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah sebagai fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri.
Syariah memberikan kepastian hukum yang penting bagi  pengembangan diri manusia dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani).
Syariah meliputi 2 bagian utama :
1.    Ibadah ( dalam arti khusus), yang membahas hubungan manusia dengan Allah (vertikal). Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam Quran dan Sunah.  Misalnya : salat, zakat, puasa
2.    Mu'amalah, yang membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) .  Dalam hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara, dll.
Budaya amat sangat mempengaruhi syariah manusia baik dari segi ibadah maupun muamalah seperti di paparkan diatas dari segi ibadah manusia kurang memilikiwaktu untuk melakukannya sedangkan dari segi muamalah manusia lebih mementingkan keuntungan bagi dirinya sendiri daripada mudharatnya sehingga koridor-koridor halal dan haram, semakin terabaikan.
2.6.  Solusi Penanggulangan
Untuk menghadapi masalah kebudayaan yang semakin menjadi tersebut yakni dengan tetap menekuni IPTEK namun tetap menomor satukan kode etik keagamaan yang berlaku sehingga berjalan dengan garis wajar (tidak berlebihan) dan tidak menjadikan pengagum nomor satu untuk IPTEK melainkan pengagum nomor satu tentang keagamaan sehingga tetap menjunjung tinggi moralitas dan tidak melanggar norma serta garis-garis keagamaan.




















BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas jelas bahwa antara kebudayaan dan agama tidak bisa disamakan walaupun keduanya sama-sama mengatur tentang norma dan aturan namun agama adalah aturan yang hak dari Allah sehingga balasan, kebenaran, dan keadilannya jelas sedangkan kebudayaan hanyalah ciptaan manusia yang pasti ada celah keburukan didalamnya.
Dalam era globalisasi sekarang banyak sekali pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan diantaranya yakni IPTEK, pekerjaan, ekonomi, mode, perilaku dan lain sebagainya sehingga manusia kebanyakan menjadi pengagum fanatik hal-hal tersebut yang pada akhirnya menomorduakan agama.
Maka solusi yang tepat adalah bolehlah kita menjadi pengagum hal-hal tersebut tetapi tetap menomorsatukan agama sehingga tetap menekuni hal-hal tersebut tetapi tetap berada dalam kontrol agama sehingga tidak melanggar norma agama yang berlaku.







DAFTAR PUSTAKA

Budi Mulyawan, Drs., Murip Yahya, Drs., Mpd., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Indramayu : Unwir Press, 2008
Faisal Ismail, Drs., MA., Paradigma Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996
Atiqullah, Dasar-Dasar Psikologi Agama, Pamekasan : Stain Pamekasan press, 2006
Http://amgy.wodpress.com/2008/02/09/budaya-dan-spiritualitas-keagamaan
Http://amgy.wodpress.com/2008/02/09/budaya-dan-spiritualitas-keagamaan
Atiqullah, Dasar-Dasar Psikologi Agama, (Pamekasan : Stain Pamekasan press, 2006), hlm.,
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996),
Http://amgy.wodpress.com/2008/02/09/budaya-dan-spiritualitas-keagamaan
Http://amgy.wodpress.com/2008/02/09/budaya-dan-spiritualitas-keagamaan


No comments:

Post a Comment