BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Manusia dan
pendidikan adalah dua
hal yang tidak
bisa dipisahkan. Manusia
di mana pun berada
dipastikan akan butuh
dengan pendidikan, hal
ini disebabkan karena fungsi
utama pendidikan adalah
memanusiakan manusia, yaitu
mengembangkan seluruh potensi
manusia yang ada
ke arah lebih baik.
Pendidikan tidak akan
berjalan kalau tidak ada manusia, baik orang yang menjalankan pendidikan itu
sendiri maupun manusia yang akan
dididik.
Pada masa
abad-abad permulaan berdirinya
sistem pendidikan klasikal,
tugas kependidikan adalah mencerdaskan
daya pikir (intelek)
manusia dengan melalui
mata pelajaran “menulis, membaca,
dan berhitung” atau
terkenal dengan “3
R‟s” (writing, reading, and
arithmetic). Akan tetapi,
sesuai dengan perkembangan
tuntutan hidup manusia, maka tugas
tersebut semakin bertambah dan
meluas, yaitu kecuali mencerdaskan otak,
yang terdapat di
dalam kepala (head)
juga mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dari
dalam hati atau
dada (heart). Oleh karena
itu, semakin meningkatnya rising
demands (kebutuhan yang meningkat) maka akhirnya manusia ingin pula mendidik kecekatan/ketrampilan
tangan untuk bekeja terampil (Muzayyin Arifin, 2003: 53). Ketrampilan
tersebut pada prinsipnya
terletak pada kemampuan
tangan manusia (hand). Pada akhirnya
proses pendidikan itu
berlangsung pada titik
kemampuan berkembangnya tiga hal,
yaitu head, heart,
and hand (
3 H‟ s).
Mungkin pada masa selanjutnya, sasaran pokok proses
kependidikan tersebut masih mengalami perubahan atau penanaman lagi.
Bila dilihat
dari segi kemampuan
dasar pedagogis, manusia
dipandang sebagai Homo Edukandum,
makhluk yang harus didik, atau bisa disebut Animal Educabil, makhluk sebangsa
binatang yang bisa dididik. Manusia itu
sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang
dimilikinya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya dari
kemampun individual manusia
lainnya. Dengan berbeda-bedanya kemampuan
untuk dididik itulah, fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah
melakukan seleksi melalui proses kependidikan
atas diri pribadi manusia. Proses seleksi tersebut menuju kepada dua arah:
1. Menyeleksi
bakat dan kemampuan apa saja yang
dimiliki manusia, untuk selanjutnya dkembangkan melalui proses
kependidikan;
2. Menyeleksi sampai
di manakah kemampuan
manusia dapat dikembangkan
guna melaksanakan tugas hidupnya dalam hidup bermasyarakat (Muzayyin
Arifin, 2003: 54).
Dengan demikian,
dapat diketahui dan
diramalkan titik maksimal perkembangan yang akan
menjadikan anak survive
dalam masyarakat yang
senantiasa berkembang.
Dengan kata lain,
proses kependidikan bagi
manusia adalah usaha
yang sistematis dan berencana
untuk menyeleksi kemampuan
belajar manusia agar dapat berkembang sampai pada
titik optimal kemampuannya,
yaitu kemampuan mengembangkan
potensi kapabilitasnya semaksimal mungkin, melalui proses belajar
mengajar.
1.2.
Rumusan Masalah
Jika manusia dan
pendidikan tidak bisa dipisahkan maka apakah pendidikan dapat berpengaruh
terhadap kepribadian manusia ?
Kemudian apakah
kepribadian manusia itu dibentuk oleh pendidikan atau potensi keturunan ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepribadian
1.
Faktor Budaya : Sedikit banyak mempengaruhi manusia sejak lahir, seperti cara ia
makan, berpakaian, bergaul dan sebagainya.
2.
Faktor Keluarga : Keluarga merupakan bagian kecil dari masyarakat, dimana
kegiatan-kegiatan dilangsungkan. Pengaruh orang tua, terutama pada masa balita,
besar sekali. Pengaruh ini biasanya melekat pada anak-anak hingga dewasa. Oleh
karena itu, keluarga merupakan “The first molder”. Keluargalah yang membentuk
dasar identitas diri dan kepribadian.
3.
Faktor Agama : Faktor yang cukup besar pengaruhnya dalam hidup manusia.
4.
Faktor Sekolah : Mempunyai pengaruh besar dalam membentuk karakter seseorang.
Pengaruh dari guru, teman, lingkungan sekolah serta mutu sekolah.
5.
Faktor Ekonomi : Hal ini merupakan faktor penting dalam kehidupan yang dapat
menentukan sikap terhadap Individu dan golongan/pemerintahan.
6.
Faktor Sosial : Status sosial dapat menentukan pandangan seseorang atau golongan,
tetapi tidak berarti bahwa seseorang yang mempunyai “High Income” akan
mempunyai status sosial yang tinggi juga. Dalam status sosial ada beberapa
faktor yang menentukan yakni : latar belakan keluarga, pendidikan, tetangga.[1]
2.2.
Berbagai Aliran Pendidikan Klasik
2.2.1. Aliran
Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa
segala perkembangan manusia
itu telah ditentukan oleh
faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (Ngalim Purwanto, 1990: 14). Pembawaan
yang telah terdapat pada
waktu dilahirkan itulah
yang menentukan hasil
perkembangannya.
Menurut aliran Nativisme, pendidikan
tidak dapat mengubah sifat-sifat
pembawaan. Jadi kalau benar
pendapat tersebut, maka percumalah
kita mendidik, atau dengan
kata lain, pendidikan tidak
perlu. Dalam ilmu pendidikan, aliran ini disebut pesimisme paedagogis.
Ajaran filsafat
Nativisme yang dapat
digolongkan filsafat Idealisme
ini berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh
faktor hereditas, faktor dalam yang bersifat kodrati (M. Noor Syam et.al, 1988:
9).
Tokoh utama
aliran ini adalah
Arthur Schopenhauer (1788-1860),
dalam artinya yang terbatas juga
dapat kita masukkan dalam golongan ini Plato, Descartes, Lombroso dan
pengikut-pengikutnya (Sumadi Suryabrata,
1990: 185-186). Para
ahli yang mengikuti pendirian ini
biasanya mempertahankan kebenaran
konsepsi ini dengan
menunjukkan berbagai persamaan atau kemiripan antara orang tua dengan
anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinan besar
anaknya juga akan menjadi ahli musik;
kalau ayahnya seorang politikus,
maka anaknya juga
akan menjadi politikus,
kalau ayahnya seorang ahli
fisika, maka anaknya
ternyata juga menjadi
ahli fisika, dan
sebagainya.
Pokoknya
keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki orang
tua juga dimiliki oleh anaknya.
Memang benar kenyataan
menunjukkan adanya kesamaan atau
kemiripan yang besar antara
orang tua dengan
anaknya-anaknya. Akan tetapi
pantas diragukan pula,
apakah kesamaan yang ada antara orang
tua dengan anaknya itu
benar-benar dasar yang dibawa sejak
lahir. Sebab, jika sekiranya anak seorang ahli musik juga menjadi ahli musik, apakah hal itu
benar-benar berakar pada
keturunan atau dasar?.
Apakah idak mungkin
karena adanya fasilitas-fasilitas
untuk dapat maju dalam bidang seni musik
maka dia lalu menjadi ahli musik
(misalnya adanya alat-alat musik, buku-buku musik, dan sebagainya maka anak si
ahli musik itu lalu menjadi ahli musik?).
Kecuali apa
yang telah dikemukakan
di atas itu,
kalau dipandang dari
segi Ilmu Pendidikan tidak
dapat dibenarkan. Sebab
jika benar segala
sesuatu itu tergantung
pada dasar, jadi pengaruh lingkungan dan pendidikan dianggap tidak ada,
maka konsekwensinya harus kita tutup saja semua sekolah, sebab sekolah tokh
tidak mampu mengubah anak yang membutuhkan pertolongan. Tidak perlu para ibu, guru, orang tua mendidik anak-anaknya karena hal itu
tidak akan ada gunanya, tak dapat memperbaiki keadaan yang sudah tersedia
(ada) menurut dasar.
Akan tetapi hal
yang demikian itu
justru bertentangan dengan kenyataan yang
kita hadapi, karena
ternyata sudah sejak
jaman dahulu hingga
sekarang orang berusaha
mendidik generasi muda, karena
pendidikan itu adalah
hal yang dapat, perlu, bahkan harus dilakukan. Jadi
konsepsi nativisme tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Aliran Nativisme
mengemukakan bahwa manusia
yang baru dilahirkan
telah memiliki bakat dan pembawaan, baik karena berasal dari keturunan,
orang tuanya, nenek moyangnya maupun
karena memang ditakdirkan demikian. Manakala pembawaannya itu baik,
baik pula anak
itu kelak. Begitu pun
sebaliknya, andaikata anak
itu berpembawaan buruk, maka buruk
pula pada masa kedewasaannya. Oleh sebab
itu, menurut aliran ini, pendidikan tidak dapat diubah dan
senantiasa berkembang dengan sendirinya.
Meskipun aliran ini dikatakan
sebagai teori kuno, pengaruhnya masih
sangat besar sampai abad modern
ini. Dan ini,
menurut beberapa literatur,
ternyata dimulai dari seorang penulis kurang lebih tahun 1900,
Ellen Key, dalam bukunya De Eeuw van Het Kind (abad anak),
yang menulis, antara
lain, bahwa “Bapak
atau pun ibu
tidak boleh memberikan peraturan
kepada si anak,
seperti juga mereka
tidak berhak berkuasa mengubah peredaran bintang”.
Sekolah, dikatakannya, tidak lain dari pada pembunuh jiwa anak yang mencekik
pelik sekali pada
sesuatu yang berharga
bagi seseorang anak,
yaitu kepribadiannya (Alex Sobur, 2003: 147-148). [2]
Menurut aliran
ini, manusia tidak
perlu didik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya
ditentukan oleh bakat yang secara
alami sudah ada pada dirinya (Jalaluddin, 2002: 46).
Jean Jacques
Rousseau (1712-1778), seorang
filsuf Prancis, berpendapat
bahwa semua orang ketika
dilahirkan mempunyai dasar-dasar
moral yang baik.
Rousseau mempergunakan istilah
“noble savage” untuk merangkan segi-segi moral ini, yakni hal-hal yang mengenai
baik dan buruk,
benar atau salah,
sebagai potensi pada
anak dari kelahirannya. Pandangan
Rousseau menjadi titik
tolak dari pandangan
yang menitikberatkan faktor dunia
dalam atau faktor
keturunan sebagai faktor
yang penting terhadap isi
kejiwaan dan gambaran kepribadian seseorang. Karakteristik yang diperlihatkan
seseorang bersifat intrinsik,
dan karena itu,
pandangan Rousseau digolongkan
pada pandangan yang beraliran Nativisme (Alex Sobur, 2003: 148).
Ajaran
Nativisme ini dapat dianggap aliran pesimistis, karena menerima kepribadian
sebagaimana adanya, tanpa
kepercayaan adanya nilai–pendidikan untuk
merubah kepribadian.
2.2.2. Aliran Empirisme
Aliran ini
mempunyai pendapat yang
berlawanaan dengan kaum
Nativisme. Mereka
berpendapat bahwa dalam
perkembangan anak menjadi dewasa
itu sama sekali ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan
pengalaman yang diterima sejak kecil
(Ngalim Purwanto, 1990: 14). Manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun
ke arah yang
buruk) menurut kehendak
lingkungan atau pendidik-pendidiknya. Dalam
pendidikan, pendapat kaum
empiris ini terkenal
dengan nama optimisme paedagogis.
Kaum
behavioris pun sependapat dengan kaum Empiris itu. Sebagai contoh kami
kemukakan di sini
kata-kata Watson seorang
Behaviouris tulen Amerika: “Berilah saya sejumlah anak-anak
yang baik keadaan badannya dan situasi-situasi yang saya butuhkan, dari setiap
orang anak, entah yang mana,
dapat saya jadikan
seorang dokter, seorang pedagang,
seorang ahli hukum, atau memang
jika dikehendaki seorang pengemis
atau ahli pencuri.
Menurut Sumadi
Suryabrata (1990: 187-188)
tokoh utama airan
ini adalah John Locke (1632-1704), yang pendapatnya
telah diuraikan di atas. Selanjutnya
aliran ini sangat besar pengaruhnya di
Amerika Serikat, di
mana banyak para
ahli yang walaupun
tidak secara eksplisit menolak peranan dasar itu, namun karena dasar itu
sukar ditentukan, maka praktis yang dibicarakan
hanyalah lingkungan, dan
sebagai konsekwensinya juga lingkunganlah yang masuk percaturan.
Faham Enviromentalisme yang banyak pengikutnya di Amerika Serikat itu pada
hakekatnya adalah kelanjutan daripada aliran Empirisme ini.
Menurut
Alex Sobur, Aliran Empirisme mengemukakan bahwa anak yang baru lahir laksana
kertas putih bersih atau semacam tabula rasa (tabula=meja, rasa=lilin), yaitu
meja yang tertutup lapisan
lilin putih. Kertas putih bersih dapat ditulis dengan tinta warna
apa pun, dan warna
tulisannya akan sama
dengan warna tinta
tersebut. Begitu pula
halnya dengan meja yang berlilin, dapat dicat dengan berwarna warni,
sebelum ditempelkan. Anak diumpamakan
bagaikan kertas putih
yang bersih, sedangkan
warna tinta, diumpamakan sebagai lingkungan
(pendidikan) yang akan
berpengaruh terhadapnya; sudah
pasti tidak mungkin tidak,
pendidikan dapat membuat
anak menjadi baik
atau buruk. Pendidikan
dapat memegang
peranan penting dalam
perkembangan anak, sedangkan
bakat pembawaannya dapat ditutup dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan
itu.
Teori tabula
rasa ini diperkenalkan
oleh Jhon Locke
untuk mengungkapkan
pentingnya pengaruh pengalaman
dan lingkungan hidup
terhadap perkembangan anak. Ketika
dilahirkan, seorang anak
adalah pribadi yang
masih bersih dan
peka terhadap rangsangan yang
berasal dari lingkungan.Orang tua menjadi tokoh penting yang mengatur rangsangan-rangsangan
dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih itu.
Seorang filsuf Barat, Emmanuel
Kant, yang memberikan dukungan terhadap
aliran ini, pernah mengemukakan,
“Manusia dapat menjadi manusia hanya
karena pendidikan”.
Demikianlah, betapa
besar pengaruh teori
ini, sehingga tidak
sedikit ahli didik
yang menganutnya.
Jadi, kesimpulan
aliran empirisme adalah
perkembangan anak sepenuhnya tergantung pada faktor
lingkungan, sedangkan faktor bakat,
tidak ada pengaruhnya. Dasar pikiran
yang digunakan adalah
bahwa pada waktu dilahirkan,
anak dalam keadaan
suci, bersih, seperti kertas
putih yang belum
ditulis, sehingga bisa
ditulisi menurut kehendak penulisnya.
Menurut penganut
empirisme, manusia perlu
didik. Perkembangan dan pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan
oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan
penting dan sangat menentukan arah
perkembangan manusia (Jalaluddin, 2002: 47).
2.2.3. Aliran
Konvergensi
Bagaimanapun kuatnya
alasan kedua aliran
pandangan di atas,
namun keduanya kurang realistis. Suatu kenyataan, bahwa potensi
hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh lingkungan (pendidikan)
yang positif tidak
akan membina kepribadian
yang ideal.
Sebaliknya, meskipun
lingkungan (pendidikan) yang
positif dan maksimal,
tidak akan menghasilkan
kepribadian yang ideal, tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh
karena itu, perkembangan pribadi
sesungguhnya adalah hasil
proses kerja sama
kedua faktor, baik internal
(potensi-hereditas) maupun faktor
eksternal (lingkungan-pendidikan). Tiap
pribadi adalah hasil konvergensi faktor-faktor internal dan eksternal (M. Noor
Syam et.al, 1988: 9-10).
Aliran ini
pada intinya merupakan
perpaduan nativisme dan
empirisme, yang keduanya
dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas
(pembawaan) dengan lingkungan
sebagai faktor yang
berpengaruh dalam perkembangan manusia.
Hukum ini berasal dari ahli psikologi bangsa Jerman
bernama William Stern (1871-1938).
Ia berpendapat bahwa
pembawaan dan lingkungan
kedua-duanya menentukan
perkembangan manusia ((Ngalim Purwanto, 1990: 15).
Dengan
demikian pendapat Willam Stern itu dapatlah
kita katakan bahwa
persoalan tentang pembawaan
dan lingkungan itu belum
selesai?. Belum. Dalam
aliran yang menganut hukum konvergensi
itu sendiri masih terdapat dua
aliran, yaitu aliran
yang dalam hukum
konvergensi ini lebih
menekankan kepada pengaruh pembawaan
daripada pengaruh lingkungan,
dan yang sebaliknya.
Sementara
itu kita belum puas pula dengan/atas jawaban dari hukum konvergensi itu, yang
mengatakan bahwa perkembangan
manusia itu ditentukan
(merupakan hasil) dari
dua faktor ialah pembawaan dan lingkungan. Kalau hal itu kita renungkan benar-benar belum tepatlah
kiranya hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia. Mungkin kata-kata itu
lebih tepat dan benar jika kita katakan terhadap perkembangan hewan daripada terhadap manusia. Menurut William Stern
(dalam Jalaluddin dan
Abdullah Idi, 2007: 154-155), hasil pendidikan itu
tergantung dari pembawaan dan
lingkungan, seakan-akan seperti dua garis yang menuju
satu titik pertemuan.
Teori konvergensi ini
berpendapat bahwa:
(1) pendidikan
mungkin diberikan,
(2) yang
membatasi hasil pendidikan
adalah pembawaan dan lingkungan
itu sendiri, dan
(3) pendidikan
diartikan sebagai penolong yang
diberikan pada lingkungan anak didik
untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan
yang buruk.
Aliran
filsafat yang dipeloporinya disebut “Personalisme”, sebuah pemikiran filosofis
yang sangat berpengaruh terhadap disiplin
ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin ilmu
yang menggunakan asas
personalisme adalah “personologi”, yang mengembangkan teori
yang komprehensip (luas
dan lengkap) mengenai
kepribadian manusia (Alex Sobur, 2003: 149). Stern
dan para pengikutnya,
dalam menetapkan faktor
yang mempengaruhi perkembangan
manusia, tidak hanya
berpegang pada lingkungan/pengalaman, juga
tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang kepada kedua
faktor yang sama penting ini. Faktor pembawaan
tidak berarti apa-apa
tanpa faktor pengalaman.
Demikian pula sebaliknya, faktor
pengalaman tanpa faktor
bawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai
dengan harapan. Perkembangan yang sehat
akan berkembang jika
kombinasi dari fasilitas
yang diberikan oleh lingkungan
dan potensialitas kodrati
anak bisa mendorong
berfungsinya segenap
kemampuan anak. Dan
kondisi sosial menjadi sangat
tidak sehat apabila
segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi
psiko-fisis anak.
Hal
di atas dicontohkan dengan kenyataan-kenyataan berikut:
1.
Latar belakang
keturunan yang sama mungkin menghasilkan ciri-ciri
kepribadian yang berbeda pada
kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda pula.
2.
Latar belakang
keturunan yang berbeda
dan lingkungan hidup
yang berbeda pula, dapat menghasilkan pola perkembangan
yang sama atau hampir sama.
3.
Lingkungan hidup
yang sama bisa menimbulkan perbedaan-perbedaan
ciri kepribadian pada anak-anak yang berlainan latar belakang keturunannya.
4.
Lingkungan hidup
yang tidak sama
bisa menimbulkan persamaan
dalam ciri-ciri kepribadian
meskipun latar belakang keturunan tidak sama.[3]
BAB
III
KESIMPULAN
Setelah kita membaca telaah diatas
maka kita dapat simpulkan bahwa factor yang mempengaruhi kepribadian manusia
adalah :
1.
Faktor Budaya
2.
Faktor Keluarga
3.
Faktor Agama
4.
Faktor Sekolah
5.
Faktor Ekonomi
6.
Faktor Sosial
Sedangkan pendidikan terdapat 3 aliran yaitu :
a. Aliran nativisme, yaitu aliran yang mempercayai bahwa segala
perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir. Pembawaan yang telah
terdapat pada waktu
dilahirkan itulah yang
menentukan hasil perkembangannya.
b. Aliran Empirisme, Mereka berpendapat
bahwa dalam perkembangan
anak menjadi dewasa itu
sama sekali ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan
pengalaman yang diterima sejak kecil .
Manusia dapat dididik menjadi apa saja
(ke arah yang baik maupun ke
arah yang buruk)
menurut kehendak lingkungan
atau pendidik-pendidiknya. Dalam
pendidikan, pendapat kaum
empiris ini terkenal
dengan nama optimisme pedagogis.
c. Aliran Konvergensi, Aliran ini
pada intinya merupakan
perpaduan nativisme dan
empirisme, yang keduanya
dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas
(pembawaan) dengan lingkungan
sebagai faktor yang
berpengaruh dalam perkembangan manusia.
Maka
jelaslah bahwa baik keturunan keluarga, lingkungan, pendidikan, ekonomi, budaya
dan agama dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia baik melalui pengalaman
ataupun melalui bawaan yang dibawa semenjak lahir.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Murif Yahya,M.Pd, Tedi
Priatna,M.Ag, Dasar-dasar Kependidikan Prespektif Islam, Amal Bakti Press,
Bandung:2005
Nana Syaodih Sukmadinata, Teori
Kurikulum, PT.Imtima, Bandung : 2007
No comments:
Post a Comment