Sunday 22 November 2015

PERAN PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia  dan  pendidikan  adalah  dua  hal  yang  tidak  bisa  dipisahkan.   Manusia  di mana  pun  berada  dipastikan  akan  butuh  dengan  pendidikan,  hal  ini  disebabkan  karena fungsi  utama  pendidikan  adalah  memanusiakan  manusia,  yaitu  mengembangkan  seluruh potensi manusia  yang  ada  ke  arah  lebih baik.  Pendidikan  tidak  akan  berjalan  kalau  tidak ada manusia, baik orang  yang menjalankan pendidikan  itu  sendiri maupun manusia  yang akan dididik. 
Pada  masa  abad-abad  permulaan  berdirinya  sistem  pendidikan  klasikal,    tugas kependidikan  adalah  mencerdaskan  daya  pikir  (intelek)  manusia  dengan  melalui  mata pelajaran  “menulis,  membaca,  dan  berhitung”  atau  terkenal  dengan  “3  R‟s”  (writing, reading,  and  arithmetic).  Akan  tetapi,  sesuai  dengan  perkembangan  tuntutan  hidup manusia, maka  tugas  tersebut  semakin bertambah dan meluas, yaitu kecuali mencerdaskan otak,  yang    terdapat  di  dalam  kepala  (head)  juga mendidik  akhlak  atau moralitas  yang berkembang  dari  dalam  hati  atau  dada  (heart). Oleh  karena  itu,  semakin meningkatnya rising demands  (kebutuhan  yang meningkat) maka  akhirnya manusia  ingin pula mendidik kecekatan/ketrampilan tangan untuk bekeja terampil (Muzayyin Arifin, 2003: 53).  Ketrampilan  tersebut  pada  prinsipnya  terletak  pada  kemampuan  tangan manusia (hand).  Pada  akhirnya  proses  pendidikan  itu  berlangsung  pada  titik  kemampuan berkembangnya  tiga  hal,  yaitu  head,  heart,  and  hand  (  3  H‟  s).  Mungkin  pada  masa selanjutnya, sasaran pokok proses kependidikan tersebut masih mengalami perubahan atau penanaman lagi.
Bila  dilihat  dari  segi  kemampuan  dasar  pedagogis,  manusia  dipandang  sebagai Homo Edukandum, makhluk yang harus didik, atau bisa disebut Animal Educabil, makhluk sebangsa binatang  yang bisa dididik. Manusia  itu  sendiri  tidak dapat  terlepas dari potensi psikologis yang dimilikinya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya dari kemampun  individual  manusia  lainnya.  Dengan  berbeda-bedanya  kemampuan  untuk dididik  itulah,  fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan  seleksi melalui proses kependidikan atas diri pribadi manusia. Proses seleksi tersebut menuju kepada dua arah:
1.      Menyeleksi bakat dan kemampuan apa  saja yang dimiliki manusia,   untuk  selanjutnya dkembangkan melalui proses kependidikan;
2.      Menyeleksi  sampai  di  manakah  kemampuan  manusia  dapat  dikembangkan  guna melaksanakan tugas hidupnya dalam hidup bermasyarakat (Muzayyin Arifin, 2003: 54). 
Dengan  demikian,  dapat  diketahui  dan  diramalkan  titik maksimal  perkembangan yang  akan  menjadikan  anak  survive  dalam  masyarakat  yang  senantiasa  berkembang. Dengan  kata  lain,  proses  kependidikan  bagi  manusia  adalah  usaha  yang  sistematis  dan berencana  untuk menyeleksi  kemampuan belajar manusia  agar dapat berkembang  sampai pada  titik  optimal  kemampuannya,  yaitu  kemampuan  mengembangkan  potensi kapabilitasnya semaksimal mungkin, melalui proses belajar mengajar.
1.2. Rumusan Masalah
Jika manusia dan pendidikan tidak bisa dipisahkan maka apakah pendidikan dapat berpengaruh terhadap kepribadian manusia ?
Kemudian apakah kepribadian manusia itu dibentuk oleh pendidikan atau potensi keturunan ?
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepribadian
1.        Faktor Budaya : Sedikit banyak mempengaruhi manusia sejak lahir, seperti cara ia makan, berpakaian, bergaul dan sebagainya.
2.        Faktor Keluarga : Keluarga merupakan bagian kecil dari masyarakat, dimana kegiatan-kegiatan dilangsungkan. Pengaruh orang tua, terutama pada masa balita, besar sekali. Pengaruh ini biasanya melekat pada anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu, keluarga merupakan “The first molder”. Keluargalah yang membentuk dasar identitas diri dan kepribadian.
3.        Faktor Agama : Faktor yang cukup besar pengaruhnya dalam hidup manusia.
4.        Faktor Sekolah : Mempunyai pengaruh besar dalam membentuk karakter seseorang. Pengaruh dari guru, teman, lingkungan sekolah serta mutu sekolah.
5.        Faktor Ekonomi : Hal ini merupakan faktor penting dalam kehidupan yang dapat menentukan sikap terhadap Individu dan golongan/pemerintahan.
6.        Faktor Sosial : Status sosial dapat menentukan pandangan seseorang atau golongan, tetapi tidak berarti bahwa seseorang yang mempunyai “High Income” akan mempunyai status sosial yang tinggi juga. Dalam status sosial ada beberapa faktor yang menentukan yakni : latar belakan keluarga, pendidikan, tetangga.[1]
2.2. Berbagai Aliran Pendidikan Klasik
2.2.1.  Aliran Nativisme
Aliran  ini berpendapat   bahwa  segala perkembangan manusia  itu  telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (Ngalim Purwanto, 1990: 14). Pembawaan yang telah  terdapat  pada  waktu  dilahirkan  itulah  yang  menentukan  hasil  perkembangannya.
Menurut  aliran Nativisme,  pendidikan  tidak  dapat mengubah  sifat-sifat  pembawaan.  Jadi kalau  benar  pendapat  tersebut, maka  percumalah  kita mendidik,  atau  dengan  kata  lain, pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan, aliran ini disebut pesimisme paedagogis.  
Ajaran  filsafat  Nativisme  yang  dapat  digolongkan  filsafat  Idealisme  ini berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh faktor hereditas, faktor dalam yang bersifat kodrati (M. Noor Syam et.al, 1988: 9).
Tokoh  utama  aliran  ini  adalah  Arthur  Schopenhauer  (1788-1860),  dalam  artinya yang terbatas juga dapat kita masukkan dalam golongan ini Plato, Descartes, Lombroso dan pengikut-pengikutnya  (Sumadi  Suryabrata,  1990:  185-186).    Para  ahli  yang  mengikuti pendirian  ini  biasanya  mempertahankan  kebenaran  konsepsi  ini  dengan  menunjukkan berbagai persamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinan besar anaknya  juga akan menjadi ahli musik; kalau ayahnya  seorang  politikus,  maka  anaknya  juga  akan  menjadi  politikus,  kalau  ayahnya seorang  ahli  fisika,  maka  anaknya  ternyata  juga  menjadi  ahli  fisika,  dan  sebagainya.
Pokoknya keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki orang  tua  juga dimiliki oleh anaknya. Memang  benar  kenyataan  menunjukkan  adanya  kesamaan  atau  kemiripan  yang  besar antara  orang  tua  dengan  anaknya-anaknya.  Akan  tetapi  pantas  diragukan  pula,  apakah kesamaan yang ada antara orang  tua dengan anaknya  itu benar-benar dasar yang dibawa sejak  lahir. Sebab,  jika  sekiranya anak  seorang ahli musik  juga menjadi ahli musik, apakah hal  itu  benar-benar  berakar  pada  keturunan  atau  dasar?.  Apakah  idak  mungkin  karena adanya  fasilitas-fasilitas untuk dapat maju dalam bidang  seni musik maka dia  lalu menjadi ahli musik (misalnya adanya alat-alat musik, buku-buku musik, dan sebagainya maka anak si ahli musik itu lalu menjadi ahli musik?).
Kecuali  apa  yang  telah  dikemukakan  di  atas  itu,  kalau  dipandang  dari  segi  Ilmu Pendidikan  tidak  dapat  dibenarkan.    Sebab  jika  benar  segala  sesuatu  itu  tergantung  pada dasar, jadi pengaruh lingkungan dan pendidikan dianggap tidak ada, maka konsekwensinya harus kita tutup saja semua sekolah, sebab sekolah tokh tidak mampu mengubah anak yang membutuhkan pertolongan. Tidak perlu para  ibu, guru, orang  tua mendidik anak-anaknya karena hal itu tidak akan ada gunanya, tak dapat memperbaiki keadaan yang sudah tersedia (ada)  menurut  dasar.  Akan  tetapi  hal  yang  demikian  itu  justru  bertentangan  dengan kenyataan  yang  kita  hadapi,  karena  ternyata  sudah  sejak  jaman  dahulu  hingga  sekarang orang  berusaha mendidik  generasi muda,  karena  pendidikan  itu  adalah  hal  yang  dapat, perlu, bahkan harus dilakukan. Jadi konsepsi nativisme tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Aliran  Nativisme  mengemukakan  bahwa  manusia  yang  baru  dilahirkan  telah memiliki bakat dan pembawaan, baik karena berasal dari keturunan, orang  tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian. Manakala pembawaannya  itu baik,  baik  pula  anak  itu  kelak. Begitu  pun  sebaliknya,  andaikata  anak  itu  berpembawaan buruk, maka  buruk  pula  pada masa  kedewasaannya. Oleh  sebab  itu, menurut  aliran  ini, pendidikan tidak dapat diubah dan senantiasa berkembang dengan sendirinya.  Meskipun aliran  ini dikatakan sebagai  teori kuno, pengaruhnya masih sangat besar sampai  abad  modern  ini.  Dan  ini,  menurut  beberapa  literatur,    ternyata  dimulai  dari seorang penulis kurang lebih tahun 1900, Ellen Key, dalam bukunya De Eeuw van Het Kind (abad  anak),  yang  menulis,  antara  lain,  bahwa  “Bapak  atau  pun  ibu  tidak  boleh memberikan  peraturan  kepada  si  anak,  seperti  juga  mereka  tidak  berhak  berkuasa mengubah peredaran bintang”. Sekolah, dikatakannya, tidak lain dari pada pembunuh jiwa anak  yang mencekik  pelik  sekali  pada  sesuatu  yang  berharga  bagi  seseorang  anak,  yaitu kepribadiannya (Alex Sobur, 2003: 147-148). [2] 
Menurut  aliran  ini,  manusia  tidak  perlu  didik,  sebab  perkembangan  manusia sepenuhnya ditentukan oleh bakat  yang  secara  alami  sudah  ada pada dirinya  (Jalaluddin, 2002: 46). 
Jean  Jacques  Rousseau  (1712-1778),  seorang  filsuf  Prancis,  berpendapat  bahwa semua  orang  ketika  dilahirkan  mempunyai  dasar-dasar  moral  yang  baik.  Rousseau mempergunakan  istilah “noble  savage” untuk merangkan  segi-segi moral  ini, yakni hal-hal yang  mengenai  baik  dan  buruk,  benar  atau  salah,  sebagai  potensi  pada  anak  dari kelahirannya.  Pandangan  Rousseau  menjadi  titik  tolak  dari  pandangan  yang menitikberatkan  faktor  dunia  dalam  atau  faktor  keturunan  sebagai  faktor  yang  penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadian seseorang. Karakteristik yang diperlihatkan seseorang  bersifat  intrinsik,  dan  karena  itu,  pandangan  Rousseau  digolongkan  pada pandangan yang beraliran Nativisme (Alex Sobur, 2003: 148).     
Ajaran Nativisme ini dapat dianggap aliran pesimistis, karena menerima kepribadian sebagaimana  adanya,  tanpa  kepercayaan  adanya  nilai–pendidikan  untuk  merubah kepribadian.
2.2.2. Aliran Empirisme
Aliran  ini  mempunyai  pendapat  yang  berlawanaan  dengan  kaum  Nativisme. Mereka  berpendapat  bahwa  dalam  perkembangan  anak menjadi  dewasa  itu  sama  sekali ditentukan oleh  lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterima  sejak kecil (Ngalim Purwanto, 1990: 14). Manusia dapat dididik menjadi apa  saja (ke arah yang baik  maupun  ke  arah  yang  buruk)  menurut  kehendak  lingkungan  atau  pendidik-pendidiknya.  Dalam  pendidikan,  pendapat  kaum  empiris  ini  terkenal  dengan  nama optimisme paedagogis.
Kaum behavioris pun sependapat dengan kaum Empiris itu. Sebagai contoh  kami  kemukakan  di  sini  kata-kata  Watson  seorang  Behaviouris  tulen  Amerika: “Berilah saya sejumlah anak-anak yang baik keadaan badannya dan situasi-situasi yang saya butuhkan, dari  setiap   orang anak,  entah yang mana, dapat  saya  jadikan  seorang dokter, seorang pedagang,  seorang  ahli hukum,  atau memang  jika dikehendaki  seorang pengemis atau ahli pencuri.
Menurut  Sumadi  Suryabrata  (1990:  187-188)  tokoh  utama  airan  ini  adalah  John Locke (1632-1704), yang pendapatnya telah diuraikan  di atas. Selanjutnya aliran ini sangat besar  pengaruhnya  di  Amerika  Serikat,  di  mana  banyak  para  ahli  yang  walaupun  tidak secara eksplisit menolak peranan dasar itu, namun karena dasar itu sukar ditentukan, maka praktis  yang  dibicarakan  hanyalah  lingkungan,  dan  sebagai  konsekwensinya  juga lingkunganlah yang masuk percaturan. Faham Enviromentalisme yang banyak pengikutnya di Amerika Serikat itu pada hakekatnya adalah kelanjutan daripada aliran Empirisme ini.
Menurut Alex Sobur, Aliran Empirisme mengemukakan bahwa anak yang baru lahir laksana kertas putih bersih atau  semacam  tabula rasa (tabula=meja, rasa=lilin), yaitu meja yang  tertutup  lapisan  lilin putih. Kertas putih bersih dapat ditulis dengan  tinta warna  apa pun,  dan  warna  tulisannya  akan  sama  dengan  warna  tinta  tersebut.  Begitu  pula  halnya dengan meja yang berlilin, dapat dicat dengan berwarna warni, sebelum ditempelkan. Anak diumpamakan  bagaikan  kertas  putih  yang  bersih,  sedangkan  warna  tinta,  diumpamakan sebagai  lingkungan  (pendidikan)  yang  akan  berpengaruh  terhadapnya;  sudah  pasti  tidak mungkin  tidak,  pendidikan  dapat  membuat  anak  menjadi  baik  atau  buruk.  Pendidikan
dapat  memegang  peranan  penting  dalam  perkembangan  anak,  sedangkan  bakat pembawaannya dapat ditutup dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan itu.
Teori  tabula  rasa  ini  diperkenalkan  oleh  Jhon  Locke  untuk  mengungkapkan pentingnya  pengaruh  pengalaman  dan  lingkungan  hidup  terhadap  perkembangan  anak. Ketika  dilahirkan,  seorang  anak  adalah  pribadi  yang  masih  bersih  dan  peka  terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan.Orang tua menjadi tokoh penting yang mengatur rangsangan-rangsangan dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih itu.  Seorang  filsuf Barat, Emmanuel Kant, yang memberikan dukungan  terhadap aliran ini, pernah mengemukakan,  “Manusia dapat menjadi manusia hanya  karena pendidikan”.
Demikianlah,  betapa  besar  pengaruh  teori  ini,  sehingga  tidak  sedikit  ahli  didik  yang menganutnya.
Jadi,  kesimpulan  aliran  empirisme  adalah  perkembangan  anak  sepenuhnya tergantung pada  faktor  lingkungan,  sedangkan  faktor bakat,  tidak ada pengaruhnya. Dasar pikiran  yang  digunakan  adalah  bahwa  pada waktu  dilahirkan,  anak  dalam  keadaan  suci, bersih,  seperti  kertas  putih  yang  belum  ditulis,  sehingga  bisa  ditulisi  menurut  kehendak penulisnya.  
Menurut  penganut  empirisme,  manusia  perlu  didik.  Perkembangan  dan pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting dan  sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin, 2002: 47).


2.2.3.  Aliran Konvergensi
Bagaimanapun  kuatnya  alasan  kedua  aliran  pandangan  di  atas,  namun  keduanya kurang  realistis. Suatu kenyataan, bahwa potensi hereditas yang baik  saja,  tanpa pengaruh lingkungan  (pendidikan)  yang  positif  tidak  akan  membina  kepribadian  yang  ideal.
Sebaliknya,  meskipun  lingkungan  (pendidikan)  yang  positif  dan  maksimal,  tidak  akan menghasilkan kepribadian yang  ideal,  tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh karena  itu, perkembangan  pribadi  sesungguhnya  adalah  hasil  proses  kerja  sama  kedua  faktor,  baik internal  (potensi-hereditas) maupun  faktor eksternal  (lingkungan-pendidikan). Tiap pribadi adalah hasil konvergensi faktor-faktor internal dan eksternal (M. Noor Syam et.al, 1988: 9-10).   
Aliran  ini  pada  intinya  merupakan  perpaduan  nativisme  dan  empirisme,  yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan)  dengan  lingkungan  sebagai  faktor  yang  berpengaruh  dalam  perkembangan manusia.  
Hukum  ini berasal dari ahli psikologi bangsa Jerman bernama William Stern (1871-1938).  Ia  berpendapat  bahwa  pembawaan  dan  lingkungan  kedua-duanya  menentukan perkembangan manusia ((Ngalim Purwanto, 1990: 15).
Dengan demikian pendapat Willam Stern  itu  dapatlah  kita  katakan  bahwa  persoalan  tentang  pembawaan  dan  lingkungan  itu belum  selesai?. Belum. Dalam  aliran  yang menganut hukum  konvergensi  itu  sendiri masih terdapat  dua  aliran,  yaitu  aliran  yang  dalam  hukum  konvergensi  ini  lebih  menekankan kepada  pengaruh  pembawaan  daripada  pengaruh  lingkungan,  dan  yang  sebaliknya.
Sementara itu kita belum puas pula dengan/atas jawaban dari hukum konvergensi itu, yang mengatakan  bahwa  perkembangan  manusia  itu  ditentukan  (merupakan  hasil)  dari  dua faktor  ialah pembawaan dan    lingkungan. Kalau hal  itu kita renungkan benar-benar belum tepatlah kiranya hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia. Mungkin kata-kata itu lebih  tepat dan benar  jika kita katakan  terhadap perkembangan hewan daripada  terhadap manusia.     Menurut William  Stern  (dalam  Jalaluddin dan Abdullah  Idi, 2007:  154-155), hasil pendidikan  itu  tergantung dari pembawaan dan  lingkungan,  seakan-akan  seperti dua garis yang  menuju  satu  titik  pertemuan.  Teori  konvergensi  ini  berpendapat  bahwa:
(1)   pendidikan mungkin  diberikan, 
(2)   yang membatasi  hasil  pendidikan  adalah  pembawaan dan  lingkungan  itu  sendiri, dan
(3)   pendidikan diartikan  sebagai penolong yang diberikan pada  lingkungan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang buruk. 
Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut “Personalisme”, sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap disiplin  ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin  ilmu  yang  menggunakan  asas  personalisme  adalah  “personologi”,  yang mengembangkan  teori  yang  komprehensip  (luas  dan  lengkap)  mengenai  kepribadian manusia (Alex Sobur, 2003: 149).    Stern  dan  para  pengikutnya,  dalam  menetapkan  faktor  yang  mempengaruhi perkembangan manusia,  tidak  hanya  berpegang  pada  lingkungan/pengalaman,  juga  tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang kepada kedua faktor yang sama penting ini.  Faktor  pembawaan  tidak  berarti  apa-apa  tanpa  faktor  pengalaman.  Demikian  pula sebaliknya,  faktor  pengalaman  tanpa  faktor  bawaan  tidak  akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan. Perkembangan  yang  sehat  akan  berkembang  jika  kombinasi  dari  fasilitas  yang diberikan  oleh  lingkungan  dan  potensialitas  kodrati  anak  bisa  mendorong  berfungsinya segenap  kemampuan  anak.  Dan  kondisi  sosial menjadi  sangat  tidak  sehat  apabila  segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisis anak.
Hal di atas dicontohkan dengan kenyataan-kenyataan berikut:
1.         Latar  belakang  keturunan  yang  sama mungkin menghasilkan  ciri-ciri  kepribadian  yang berbeda pada kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda pula.
2.         Latar  belakang  keturunan  yang  berbeda  dan  lingkungan  hidup  yang  berbeda  pula, dapat menghasilkan pola perkembangan yang sama atau hampir sama.
3.         Lingkungan hidup yang  sama bisa menimbulkan perbedaan-perbedaan ciri kepribadian pada anak-anak yang berlainan latar belakang keturunannya.
4.         Lingkungan  hidup  yang  tidak  sama  bisa  menimbulkan  persamaan  dalam  ciri-ciri kepribadian meskipun latar belakang keturunan tidak sama.[3]



















BAB III
KESIMPULAN

Setelah kita membaca telaah diatas maka kita dapat simpulkan bahwa factor yang mempengaruhi kepribadian manusia adalah :
1.        Faktor Budaya
2.        Faktor Keluarga
3.        Faktor Agama
4.        Faktor Sekolah
5.        Faktor Ekonomi
6.        Faktor Sosial
Sedangkan pendidikan terdapat 3 aliran yaitu :
a. Aliran nativisme, yaitu aliran yang mempercayai bahwa segala perkembangan manusia  itu  telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Pembawaan yang telah  terdapat  pada  waktu  dilahirkan  itulah  yang  menentukan  hasil  perkembangannya.
b.  Aliran Empirisme, Mereka  berpendapat  bahwa  dalam  perkembangan  anak menjadi  dewasa  itu  sama  sekali ditentukan oleh  lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterima  sejak kecil . Manusia dapat dididik menjadi apa  saja (ke arah yang baik  maupun  ke  arah  yang  buruk)  menurut  kehendak  lingkungan  atau  pendidik-pendidiknya.  Dalam  pendidikan,  pendapat  kaum  empiris  ini  terkenal  dengan  nama optimisme pedagogis.
c.  Aliran Konvergensi, Aliran  ini  pada  intinya  merupakan  perpaduan  nativisme  dan  empirisme,  yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan)  dengan  lingkungan  sebagai  faktor  yang  berpengaruh  dalam  perkembangan manusia.  
Maka jelaslah bahwa baik keturunan keluarga, lingkungan, pendidikan, ekonomi, budaya dan agama dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia baik melalui pengalaman ataupun melalui bawaan yang dibawa semenjak lahir.















DAFTAR PUSTAKA


Drs. Murif Yahya,M.Pd, Tedi Priatna,M.Ag, Dasar-dasar Kependidikan Prespektif Islam, Amal Bakti Press, Bandung:2005

Nana Syaodih Sukmadinata, Teori Kurikulum, PT.Imtima, Bandung : 2007




[1] http://www.tryakbar.com/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kepribadian.html
[2] Drs. Murif Yahya,M.Pd, Tedi Priatna,M.Ag, Dasar-dasar Kependidikan Prespektif Islam, Amal Bakti Press, Bandung:2005
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Teori Kurikulum, PT.Imtima, Bandung : 2007

No comments:

Post a Comment