Saturday 23 April 2011

AL-JARH WAT TA'DIL


KATA PENGANTAR


Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, puji stukur kehadlirat Allah SWT. Yang telah memberikan taufiq serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah “Ilmu Al-Jarh Wat Ta’dil” mata kuliah “Ulumul Hadits”. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW. Dan semoga kita kelak mendapat syafa’atnya di Yaumil Qiyamah Amiin.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Senoga makalah ini bermanfa’at bagi kita semua Amiin.




Indramayu, 20 Nopember 2008
Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

Seperti di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama Hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan Syari’at islam,ada hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dlaif. Masing-masing memiliki persyaratanya sendiri-sendiri persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang di lalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits yaitu : yang berkaitan dengan sanad, kemudian yang berkaitan dengan matan.
Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah periwayat yang di cantumkan di dalam sanad hadits itu dapat di percaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan dengan matan akan membentuy kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya apakah kandungan hadits itu bertentangan dengan dalil lain atau tidak. Dalam hal ini ada dua pokok bahasan yang berkaitan dengan sanad.
1. Ilmu Rijal al-Hadits
Menurut bahasa rijal artinya para kaum pria. Adapun yang di maksud disini adalah ilmu yang membicarakan tentang tokoh-tokoh/orang yang membawa hadits, semenjak dari Nabi sampai ke periwayat terakhir (penulis kitab hadits). Hal terpenting dalam ilmu Rijal al-Hadits adalh sejarah kehidupan para tokoh tersebut meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal mereka, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadits.
2. Ilmu al-Jarh wat Ta’dil
Menurut bahasa al-Jarh merupakan masdar dari kata kerja (fi’il) jaroha, yajrohu, yang berarti luka yang mengalirkan darah. Menurut lisan al-Aroby kata “Jaroha” adalah sesuatu yang dapat mengugurkan keadalahan seseorang, cacat, kritik, istilah ini digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadits seperti pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka bisa dikatakan  bahwa periwayat tersebut cacat. Hadits yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak dan haditsnya lemah (dlaif)
Ta’dil menurut bahasa, merupakan masdar dari kata kerja (fi’il) ‘addala, yu’addilu yang berarti keadilan yang menilai adil kepada orang lain. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti kuat hapalan (dlabit), terpercaya (amanah), cermat, teliti, dan lain sebagainya.orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut adil, sehingga hadits yang dibawanya dapat di terima sebagai dalil agama.
Jadi yang dinamakan ilmu al-Jarh wat Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memendang lurus perangai para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

BAB II
SYARI’AT AL-JARH WAT TA’DIL

A. Pengertian Ilmu al-Jarh wat Ta’dil
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa ilmu aljarh watta’dil adalh ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat atau sifat jelek yang dihadapkan kepada para perawi, seperti pelupa, pembohong dan lain sebagainya. Sesuai fakta sejarah, pemalsuan hadits telah terjadi semenjak dini dan menonjol pada masa perebutan kekuasaan politik islam. Fakta itu menunjukkan bahwa ternyata tidak semua pembawa hadits itu dapat di percaya, maka dari itu didalam ilmu hadits, para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil yaitu penyelidikan para periwayat hadits dalam rangka memelihara kemurnian sunnah Nabi Muhammad dari kepalsuan, yang didasarkan kepada kaedah umum ajaran islam. Para ulama sadar sepenuhnya bahwa ghibah (menunjukkan aib seseorang) adalah dilarang oleh agama akan tetapi bila al-Jarh (kritik) tidak dilakukan, maka bahaya yang timbul akan lebih besar dan Hadits Nabi tidak terselamatkan.
Al-Baghdadi mengutip penilaian Ibnu Mubarak atas kebohongan Al-Ma’la ibn Hilal kemudian seorang sufi menegurnya “ Hai Abu Abdirrahman mengapa engkau berbuat ghibah ?” Ibnu Mubarak menjawab “kalau saya tidak menjelaskan, bagaimana mungkin di pilah antara yang hak dan yang batil”.
B. Dalil-dalil Landasan Ilmu al-Jarh wat Ta’dil
Ada beberapa ayat dan hadits yang memberi inspirasi kepada para ulama agar menyelidikinya dalam rangka ini di lakukan.
Surat al-Hujjarat ayat 6 :


Artinya : “Hai orang-orang yang mu’min jika datang kepadamu orang fasiq dengan membawa berita maka selidikilah, mungkin kamu dapat mendatangkan musibah kepada kaum karena ketidak tahuan akhirnya kamu menyesal karena perbuatanmu”
Ayat ini mengandung maksud bahwa berita yang datang dari orang-orang yang meragukan, mencurigakan, apalagi tidak dapat dipercaya, harus diteliti. Terlebih-lebih berita yang dibawa dinyatakan sebagai hadits Nabi SAW :
Begitu juga dalam surat Al-Baqarah ayat 282 :

Artinya : Dan carilah saksi dua orang………saksi-saksi dari orang-orang yang kamu ridla kepada mereka.
Inspirasi yang diperoleh dari ayat tersebut adalah bahwa saksi untuk berbagai kasus harus diambil dari orang yang “di ridlai” yaitu orang terpercaya kemudian terhadap pembawa informasi hadits ditetapkanlah kriteria ini.
Sabda Nabi Muhammad SAW :

Artinya : Dia itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya (HR.Bukhari)
Kemudian sabda Nabi terhadap Fatimah binti Qais yang menyakan tentang Muawiyyah bin Sufyan dan Abi al-Jahm yang telah melamarnya “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Muawiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta (HR.Muslim)”.
Perkataan Rasulullah ini walaupun konteksnya sebagai saran dalam kasuspribadi seseorang, namun menunjukkan dibolehkannya mencela orang-orang yang lemah guna menjelaskan keadaan mereka, dan menampakkan cela dalam perkara yang berkenaan dalam halal dan haram yaitu Hadits lebih utama dari pada menjelaskan cela dalam konteks memberi saran tertentu.
Didalam masalah Ta’dil Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah (HR. Imam Ahmad dan Attirmidzi dari Abu Hurairah).
Adapun kaedah yang digunakan para ulama untuk mencela dan memuji periwayat diantaranya adalah :

Artinya : “Global dalam menunjukkan pujian dan rinci dalam menunjukkan cacat”.
Maksudnya adalah untuk memuji seseorang tidak diperlukan alasan-alasan lagi, misalnya untuk menyatakan si fulan itu adil, tidak perlu mengatakan “karena ia rajin shalat, puasa, haji dan sebagainya. Sebaliknya untuk menunjukkan cacat diperlukan sebab spesifik cacatnya misalnya perlu menyebut si fulan pelupa, atau fasik, dan sebagainya.
Meskipun demikian para ulama juga menggunakan tata karma dalam menunjukkan cacat periwayat, misalnya bila dengan sebuah ungkapan target manunjukkan cacat itu sudah terpenuhi mereka tidak akan membuka cacat-cacat yang lainnya kendati mereka kendati mereka mengetahuinya.
Syu’ban ibn al-Hajaj (82-160) pernah ditanya tentang hadits yang dibawa oleh Hakim ibn Jabir Su’ban menjawab  seraya menunjukkan cacat periwayat “saya takut api neraka” maksud kalimat itu agar orang tidak mengambil hadits dari periwayat tersebut, karena itu Imam Syafi’i berkata “ Andaikata tidak ada Syu’bah niscaya hadits yang beredar di Irak tidak dapat di pilah-pilah yang mana yang asli dan mana yang buatan orang”. Fenomena yang menggambarkan keberhati-hatian ulama hadits tampak pada ungkapan Asy Sya’bi “demi Allah jika aku melakukan sembilan puluh sembilan kebenaran dan satu kesalahan, niscaya yang mereka perhitungkan buat saya adalah yang sekali salah itu.
Bagi kita sekarang untuk mengetahui apakah seorang periwayat itu adil atau tidak, kita tinggal membuka kitab riwayat hidup para periwayat Hadits (Rijal al-Hadits).









BAB III
TINGKATAN AL-JARH WAT TA’DIL

Para periwayat hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan, kedlabitan dan hafalan mereka. Diantara mereka ada yang hafalannya kuat dan sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah, padahal mereka orang yang adil dan amanah serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama yang sempurna pengetahuannya oleh karena itu para ulama menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan.
A.   Tingkatan at-Ta’dil
Adapun tingkatan at-Ta’dil adalah sebagai berikut :
1.      Ta’dil dengan menggunakan ungkapan atau kata pujian yang berlebihan seperti :

“Ia adalah orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya ia tidak ada bandingannya”
Ada pula yang memasukkan kata :

“Si fulan tidak diragukan lagi kualitasnya”


2.      Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata yang sama atau mirip ungkapan pujian ini tidak sekuat pujian tingkat pertama, seperti :
Ø Terpercaya, terpercaya                =
Ø Terpercaya dan terpercaya                      =
Ø Terpercaya dan kuat hafalannya =
Ø Terpercaya dan teguh                              =
Ø Terpercaya dan teliti                                =
3.      Menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya pengulangan penguat atas hal itu, seperti :
Ø Imam/di ikuti                                              =
Ø Yang teguh                                                 =
Ø Yang teliti                                                  =
Ø Yang kritis                                                  =
Ø Terpercaya                                                  =
Ø Kuat hapalannya                            =
Ø Hafal/orang yang menjaga hafalannya  =
Ø Bukti/bisa dijadikan hujjah                        =
                              4.      Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan kebaikan seseorang atau menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan, tetapi tidak melukiskan adanya kecermatan atau kekuatan hafalan seperti kata yang digunakan untuk ta’dil diatas, seperti:
Ø   Yang selalu benar/suka terhadap kebenaran   =
Ø   Terpercaya                                                       =
Ø   Tidak mengapa                                                =
                              5.      ta’dil dengan menggunakan kata yang agak dekat kepada trajrih seperti :
Ø   Tidak jauh dari kebenaran       =
Ø   Mudah-mudahan benar           =
Ø   Tempatnya kebenaran             =
Dari tingkatan-tingkatan at-Ta’dil ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu kekuatan hafalan, ketelitian, serta kecermatan di satu sisi dan kejujuran pada sisi lain.
a.       Untuk tingkatan ta’dil yang pertama (1-3) yang ditonjolkan adalah bahwa periwayat mempunyai kecerdasan, ketelitian, kecermatan, dan kekuatan hafalan yang amat bagus. Orang yang diberi predikat semacam ini dipastikan memiliki kesetiaan yang amat tinggi terhadap agama, sekaligus kejujuran tidak di ragukan lagi dan hadits yang dibawanyapun dapat dijadikan hujjah. Tetapi begitu ketahuan bahwa periwayat itu tidak jujur, kendati kecerdasannya luar biasa, maka ia akan jatuh, dan tidak dapat masuk kedalam kelompok orang adil di tingkat manapun.
b.      Pada tingkatan ta’dil yang paling ringan kadarnya (4-5) terlihat bahwa periwayat diberi predikat sebagai orang jujur, setia terhadap agama, tetapi disana tidak dilaporkan kecerdasan serta kekuatan hafalannya. Artinya periwayat pada tingkatan ini tidak menonjol kecerdasan, ketelitian, dan kekuatan hapalan, berarti ada dua hal yang di tekankan pada at-Ta’dil, yaitu kecerdasan dan kejujuran.
B.   Tingkatan al-Jarh
1.      Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang dianggap cacat karena kedustaannya, misalnya :
Ø   Orang menganggap (dia) pendusta  =
Ø   Pembohong besar                             =
Ø   Haditsnya palsu                               =
Ø   Rendah Haditsnya                           =
2.      Jarh dengan menggunakan kata yang sedikit lebih lunak, juga masih berkisar pada dusta, misalnya :
Ø   Di tuduh berdusta                =
Ø   Di tinggalkan haditsnya       =
Ø   Haditsnya rusak                   =
Ø   Tidak diketahui kondisinya =
3.      Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari yang diatas, yang menunjukkan bahwa haditsnya di tolak oleh orang banyak, atau tidak di tulis haditsnya, seperti :
Ø   Tertolak Haditsnya       =
Ø   Lemah sekali                 =
Ø   Tidak ada apa-apanya   =
Jarh paqda tingkatan ini menunjukkan bahwa hadits melalui periwayat yang berpredikat seperti ini agar tidak diriwayatkan.
4.      Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi, misalnya :
Ø   Lemah                                              =
Ø   Mereka melemahkan haditsnya        =
Ø   Tidak di butuhkan haditsnya           =
Ø   Haditsnya munkar                            =
Disini di gambarkan bahwa hadits yang dibawa oleh periwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah.
5.      Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan cacat ringan, misalnya :
Ø   Dirinya di bicarakan                         =
Ø   Tidak boleh dijadikan hujjah           =
Ø   Haditsnya jelek                                =
Ø   Lemah haditsnya                              =
Ø   Haditsnya tidak kuat                       =
Dalam hal Jarh seperti juga pada at-Ta’dil, ada beberapa hal yang penting yaitu :
v  Al-Jarh dengan kadar terberat (peringkat 1 dan 2) misalnya menonjolkan kedutaan, bahkan yang berlebihan. Tampak disini bahwa ukuran utama akurasi berita adalah kejujuran/kedustaan.
v  Orang yang tidak menonjol kedustaannya di jatuhi al-jarh dengan kadar agak ringan (peringkat 3).
v  Orang yang tidak kelihatan pendusta, tetapi lemah hafalan dan kurang teliti maka dijatuhi al-jarh dengan kadar lebih ringan lagi, mendekati ta’dil dengan kadar ringan juga (peringkat 4). Dengan demikian, sebenarnya ta’di; ringan (tingkat ke-5) itu berhimpit dengan al-jarh ringan (tingkat ke-5) juga.
Dalam keadaan semacam inilah sebuah hadits dapat naik derajat apabila menurut hasil penelitian, hadits tersebut di kuatkan oleh hadits yang sama melalui jalur yang berbeda, kalau tadinya hadits hasan ia naik menjadi shahih lighairih, kalau tadinya dlaif  menjadi hasan lighairih
C.   Kontradiksi al-Jarh dan at-Ta’dil
Seringkali peneliti hadits berhadapan dengan kasus periwayat kontroversial, ketika peneliti membaca riwayat hidup sang periwayat di buku Rijal al-Hadits, misalnya buku Tahdzibut Tahdzib disana ia akan menemukan berbagai informasi bahwa periwayat yang sedang diteliti itu di puji tetapi, ada juga orang lain yang mencelanya. Artinya periwayat yang dinilai cacat oleh seorang kritikus, belum tentu dinilai sama oleh kritikus lainnya, dan begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu sebelum memutuskan apakah seorang periwayat benar-benar kontroversial, perlu pengamatan yang cermat. Kalau memang periwayat yang dimaksud adalah orang kontroversial, maka ada beberapa pendapat untuk mengatasi persoalan ini :
                              1.            Pendapat pertama mendahulukan al-jarh dari at-ta’dil maksudnya yang dipewgang adalah informasi tentang cacatnya periwayat tersebut dan mengesampingkan keadilannya walaupun jumlah penyacat jauh lebih kecil ketimbang jumlah yang memuji keadilannya. Alasannya penyacat dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang-orang yang memuji tadi.
                              2.            Pendapat kedua mengambil penilaian yang didukung oleh suara terbanyak, alasannya suara terbanyak itu lebih mempunyai kekuatan, tetapi pendapat ini ditinggalkan oleh ulama pada umumnya.
                              3.            Pendapat ketiga mengambil / mendahulukan pujian atas celaan, kecuali apabila celaan disertai penjelasan tentang sebab-sebab celaan (al-jarh). Hal ini sesuai dengan adab al-jarh wat-ta’dil, bahwa untuk memuji seorang periwayat tidak perlu rincian, sementara untuk menunjukkan cacat rincian itu diperlukan.
                              4.            Ppendapat keempat menangguhkan penilaian sampai ada bukti lain yang menguatkan apabila periwayat kontroversi itu termasuk orang adil atau orang cacat.








BAB IV
KESIMPULAN
Ilmu al-jarh wat-ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat atau kritik yang dihadapkan kepada para perawi, dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
Adapun fungsi/kegunaan ilmu al-jarh wat-ta’dil adalah untuk menyelidiki terhadap para periwayat hadits, dalam rangka memelihara kemurnian sunnah Nabi SAW. Dari kepalsuan, yang didasarkan pada kkaidah umum ajaran islam.
Berdasarkan ayat dan Hadits diatas, para ulama bersepakat bahwa menjarh para perawi yang menukilkan hadits atau berita adalah boleh bahkan wajib, karena adanya kebutuhan darurat yang memang mengharuskan.
Didalam al-jarh wat-ta’dil ada beberapa tingkatan yaitu :
a.   Tingkatan at-Ta’dil
1.      Ta’dil dengan menggunakan ungkapan atau kata pujian yang berlebih.
2.      Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata yang sama atau yang mirip.
3.      Menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya pengulangan-pengulangan atas hal itu.
4.      Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan kebaikan seseorang atau menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan, tetapi tidak melukiskan adanya kecermatan atau kekuatan hafalannya.
5.      Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang agak dekat dengan Tajrih
b.   Tingkatan al-Jarh
1.      Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang di cacat karena kedustaannya.
2.      Jarh dengan menggunakan kata-kata yang sedikit lebih lunak juga masih berkisar pada dusta.
3.      Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak, dan menunjukkan bahwa haditsnya ditolak oleh orang banyak, atau tidak di tulis haditsnya.
4.      Jarh dengan menggunakan kata-kata yang lebih lunak lagi.
5.      Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan cacat ringan.
Dalam ilmu al-Jarh wat-Ta’dil juga, sesame kritikus belum tentu sama dalam penilaiannya, sehingga sebelum memutuskan apakah seorang periwayat benar-benar kontroversi perlu adanya pengamatan dan kecermatan.
REFERENSI

Ø   Al-Imam Abdi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizabat al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari, Darul Fikri, 1981.
Ø   Hafidz Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadits, Salim Nabhan, Surabaya.
Ø   Muhammad Ahmad, Drs. H. M. Mudzakir, Drs. Ulum Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Ø   Muhammad Zuhri, Dr. Hadits Nabi, PT. Tiara Wacana, Yogya, 1997.
Ø   Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Shahih edisi Indonesia, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 2006.
Ø   asysyari’ah.com






No comments:

Post a Comment